dua puluh empat

307 34 0
                                    

"Kenapa gue dipunggungin terus? Kode minta dipeluk apa gimana?"

Sebenarnya, Liam hanya berniat untuk menggoda. Pasalnya, dia masih belum bisa terlelap, dan Liam juga bosan memainkan ponsel hanya untuk menjemput kantuk. Jadi, satu-satunya jalan agar kebosanannya menghilang adalah dengan mengganggu Runa.

Wanita itu terdengar mendecak, tapi tidak sedikit pun mengubah posisinya; tetap membelakangi Liam sembari memeluk guling.

"Koda-kode apaan. Udah tau kan posisi sunnah waktu tidur?" balasnya skeptis.

Selain sunnah, Runa memang lebih suka tidur dengan posisi miring kanan. Sebab dirinya juga berada di sisi kanan ranjang, otomatis setiap hari Liam dihadiahi pemandangan punggungnya. Mana kalau Runa tidur kayak orang simulasi mati, nggak gerak sama sekali dari tidur sampai bangun.

"Ngadep ke suami juga sunnah kali," kilahnya.

"Coba tunjukin dalilnya," kali ini Runa menoleh, hanya sedikit menggeser bahunya, tidak dengan posisinya yang masih memeluk guling. "Ayo, cepet."

Kicep kan Liam. Maneh sih sok-sok-an ngomong sunnah.

Tiba-tiba, Runa mengubah posisi tidurnya. Bukan menghadap ke arah Liam--ngarep banget. Dia cuma terlentang lurus menatap langit kamar. Bahkan, kepalanya pun nggak menoleh tatkala dirinya bergumam.

"Lisa gimana?"

Sampai saat ini, Runa nggak tahu apa penyebab wanita itu melakukan percobaan bunuh diri. Bahkan, dari sekian hari yang sudah dilewati, baru kali ini pillow talk mereka membicarakan tentang Lisa. Liam sendiri juga tidak pernah membicarakan mantan pacarnya tersebut apabila usai berkunjung dalam jangka waktu yang cukup lama. Makanya, Runa dibuat heran, tumben sekali Liam pulang lebih cepat dari biasanya.

"Lebih baik dibanding sebelumnya," Liam membalas sekenanya. Lantas, dirinya kembali teringat mengenai ucapan manajer Lisa.

"Baguslah kalau begitu. Berarti kehadiran Aa' emang berguna di sana."

Saking datarnya, bahkan Liam tidak bisa menerjemahkan emosi yang terdapat dalam untaian kalimat tersebut. Itu menyindir? Bersyukur? Atau apa?

"Lo nggak papa?"

Runa mengernyit, tapi tidak menbuatnya menoleh ke arah Liam. "Nggak papa apanya? Perasaan gue sehat-sehat aja dah."

Lagi. Liam merasa bingung. Apa dia sedang dipermainkan? Atau memang hanya pikirannya yang terlalu berputar jauh? Sebenarnya, sikap Runa yang terlalu sederhana atau memang wanita itu yang cukup pintar untuk menyilatkan kata?

"Nana, lo percaya kan sama gue?"

Dalam konsep apa, Liam Kasep? Dia bahkan tidak mengerti mengapa kalimat tanya itu muncul begitu saja dari mulutnya. Belum lagi, kali ini dirinya berhasil membuat Runa menoleh ke arahnya, ditambah dengan kerutan dahi yang merepresentasikan bila wania itu dilanda kebingungan.

"Ngapa dah lu tiba-tiba panggil gue Nana?"

Liam berdecak. Sumpah. Runa merusak suasana banget. Padahal, kayaknya tadi mereka lagi khidmat dalam kesunyian. Liam pikir, wanita itu akan bertanya balik perihal ucapannya tadi.

"Lo mau gue panggil boncel terus?" Liam sedikit menggeram sembari memicingkan mata ke arah wanita tersebut.

Runa berdesis. Sebenarnya, dia sebal banget kalau mendengar Liam memanggilnya dengan sebutan itu. Tapi kalau Nana, tuh .... dia jadi keinget dengan salah satu mantannya yang lebih suka memanggil Runa dengan panggilan Nana.

Kan. Kan. Jadi keinget, kan.

"Oke, terserah."

Lagipula, Liam sulit dilawan. Jadi, percuma saja kalau dia membantah. Suka-suka dia dah mau memanggil bagaimana.

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang