tiga puluh dua

305 42 1
                                    

"Mau ke mana?"

"Kamar mandi."

"Mau ngapain?"

Pertanyaan yang sangat tidak berguna, Lim.

"Salto, ck."

Perlahan, Runa menggeser kakinya untuk menyentuh lantai. Hari ini dia sudah lumayan membaik, pusingnya mulai mereda; makanya Runa juga sudah bisa kembali menyulut kekesalan teman satu rumahnya itu. Tapi, untuk berdiri, dia membutuhkan waktu cukup lama terbangun dari posisi duduknya--agar kepalanya tidak lagi mengajaknya bercanda; alias tiba-tiba keliyengan lagi.

Padahal, niat Liam hanya ingin membantu, takutnya wanita itu tiba-tiba pingsan pas lagi jalan, atau nggak sadarkan diri di kamar mandi. Siapa yang tahu, kan? Semalam saja merengek begitu sampai menangis.

"Nggak usah mandi, Na. Cuci muka sama gosok gigi aja. Jangan lama-lama di kamar mandi," Liam memeringati, tapi tetap saja Runa mengambil handuk serta pakaiannya. "Dibilangin kok ngeyel."

"Lengket badan gue, asem," keluhnya.

"Pake rexona aja, sih, beres. Daripada nanti lo masuk angin, makin tambah penyakit."

"Bawel, ah. Bikin pusing aja."

Liam berdecak, lalu beranjak dari bangku untuk menghampiri wanita tersebut. "Diseka pake washlap aja, jangan guyur langsung dari shower. Punya washlap, nggak?"

"Mana ada."

"Ya udah, pake handuk kecil aja. Bentar, gue ambilin. Lo ke kamar mandi duluan tapi duduk di kloset aja, nggak usah ngapa-ngapain."

Liam keluar dari kamar, mengambil baskom kecil di dapur. Sebenarnya, dia bisa berjalan, sih, tapi kakinya malah melaju dengan cepat; membuat napasnya ngos-ngosan. Hal ini dirinya lakukan sebab si wanita yang seringkali bersikap batu alias susah dibilangin. Nggak mau nurut. Makanya, dia buru-buru nelangkahkan kaki supaya Runa nggak beneran mau mandi.

Sekembalinya ke kamar, Liam menuju almari untuk mengambil handuk selamat pagi miliknya. Untungnya, pintu kamar mandi tidak ditutup rapat; yang artinya Runa kali ini menurut padanya. Liam pun langsung masuk dan menemukan Runa yang sedang duduk di kloset. Tanpa berbicara lagi, dia menampung air hangat yang dikeluarkan dari pemanas air. Tidak lupa air tersebut dicoba di tangannya sendiri untuk memastikan tidak terlalu panas.

Setelahnya, Liam membawa baskom tersebut dan diletakkan di lantai, tepat di sebelah kaki Runa. Pria itu juga berinisiatif mendekatkan botol sabun cair ke arah wanita tersebut--tidak dengan botol samponya karena Liam melarang Runa untuk membasahi kepalanya.

"Perlu dibantuin, nggak?"

"Bantu apaan?"

"Ya .... apa kek?"

Ya kalau mau mandi, memangnya mau dibantuin apa? Bantuin bukain baju? Ngelapin badan? Atau bahkan nyabunin? Ngaco!

"Nggak ada. Udah buru keluar sana."

Liam mendengus. "Pintu jangan dikunci, ya? Kalau ada apa-apa, nanti gue yang repot."

"Iye."

Iyain aja biar cepet.

Liam keluar dari kamar mandi dan menutup pintu tersebut. Setelahnya sih dia sama sekali tidak mendengar suara putaran kunci, yang itu berarti Runa mendengarkan perkataannya. Baguslah, walaupun mulut pedasnya sudah kembali, wanita itu masih mau nurut padanya.

Hari ini Liam libur, alias nggak ada jadwal mengajar; ya kan ini hari minggu. Sampai saat ini, dia masih belum memberitahu keadaan Runa ke mertuanya, apalagi ke bundanya yang tiba-tiba saja semalam menghubunginya. Untung hanya lewat pesan singkat, bukan telepon.

Sebenarnya sih sang ibu tidak menanyakan secara spesifik, beliau hanya menanyakan kabar mereka berdua; yang tentu saja Liam jawab dalam keadaan baik-baik saja, walau sesungguhnya secara fisik Runa mengalami kebalikannya. Selain Liam menghargai keinginan Runa, pria itu juga tidak ingin ibunya khawatir di saat kondisi dirinya sendirilah yang harus dikhawatirkan.

Tetapi, satu hal yang sangat Liam syukuri adalah kondisi ibunya yang tidak pernah lagi menurun saat dirinya sudah berganti status kehidupan. Yang itu berarti; keputusannya untuk menikah dengan Runa sangatlah tepat.

Lamunannya saat memainkan ponsel terputus begitu mendengar suara gaduh di dalam kamar mandi. Ponselnya pun langsung dilempar ke arah ranjang dengan langkah kakinya yang melaju cepat menuju kamar mandi.

"Naaa?!"

"Jangan masuk!"

Ter ... lan ... jur.

Liam refleks memutar kenop dan mendorong pintu tersebut, menatap ke arah Runa yang sudah berada di lantai dengan keadaan membelakanginya.

Bukan, bukan itu yang membuatnya terkejut. Akan tetapi melihat Runa dalam keadaan .... kalian tahu kan kalau orang mandi mana pernah pakai baju?

"Keluar!"

"Eh! Astaghfirullah!"

Bukannya bergegas untuk keluar dari kamar mandi, Liam malah baru refleks menutup mata saat ditegur.

"Lo oke, Na?"

"Keluar dulu ...." Runa tidak lagi berteriak, tapi lebih ke arah meringis? Atau merasa malu?

Kepalanya kembali dilanda pusing, apalagi tiba-tiba ada adegan terpeleset dan membuat kepalanya sedikit membentur lantai. Masalahnya, dia ketangkep basah begini saat dalam keadaan telanjang bulat. Tambah peninglah kepalanya itu.

"Bisa berdiri?"

Liam masih belum membuka matanya. Bodohnya, padahal dia bisa memutar tubuhnya untuk membelakangi wanita itu. Tapi hal tersebut tidak dilakukan olehnya.

Runa tidak menjawab. Pria itu malah mendengar isakan pelan yang menggema di ruang kamar mandi; menandakan bahwa istrinya tersebut tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Liam jadi panik sendiri. Dia pun segera keluar dari kamar mandi, membuka lemarinya dan mencari handuk dengan ukuran terbesar. Sekembalinya masuk ke dalam kamar mandi, dia tidak lagi menutup mata; hal ini terpaksa dilakukan untuk menurunkan risiko bila dirinya nanti malah menabrak tubuh Runa. Lagipula, saat dirinya sudah berada di dekat Runa, Liam langsung menutupi tubuh wanita itu menggunakan handuk yang dibawa olehnya.

Dia tahu, sepertinya Runa tidak bisa terbangun dan bahkan pening kembali menguasai kepalanya. Sehingga, yang bisa Liam lakukan adalah mengangkat tubuh wanita itu untuk keluar dari kamar mandi, dan menurunkannya pelan-pelan di atas ranjang dengan berusaha agar handuk tersebut tidak terjatuh.

Dia seorang pria yang juga memiliki hawa nafsu, maka dari itu dirinya berusaha agar handuk tersebut tidak tersingkap.

"Kepalanya makin pusing? Mau ke rumah sakit lagi?"

Pasalnya, saat Liam membopong tadi, Runa terlihat meringis berbarengan dengan kepalanya yang terantuk di dadanya.

"Baju ..."

Liam berdecak. "Masalah baju nanti aja, Na! Sekarang kepala lo gimana? Dah dibilangin nggak usah mandi, kena karma bantah suami, kan?"

Sesungguhnya, Liam tidak memiliki niat untuk memarahi Runa. Apalagi, istrinya itu masih dalam keadaan kesakitan.

Runa tidak membalas, pun Liam memilih untuk membalut tubuh Runa menggunakan selimut hingga mencapai perbatasan lehernya, tidak peduli kalau ranjang mereka akan lembab sebab tubuh Runa yang masih basah tadi.

"Minum obat dulu, terus baru tidur. Ntar gue ambilin baju lo, itu pun kalau lo bisa pake baju sendiri."

Liam membantu untuk mengambilkan obat dan turut membantu wanita itu untuk meminum obatnya pula. Cuma obat satu-satunya yang dapat meredakan rasa pusingnya tersebut.

Setelahnya, Liam sendiri harus berurusan dengan kamar mandi; sejenak. Bisa-bisanya dia berdiri dalam keadaan seperti ini.

***

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang