lima puluh tiga

329 32 21
                                    

kangen ga?

***

Runa menjadi sosok yang paling tenang dalam kondisi haru yang mencekam. Mungkin di mata orang lain dirinya seperti tak memiliki hati, sebab matanya saja tak memperlihatkan jejak sembap sebagai tanda kehilangan dan rasa pilu.

Liam sendiri tidak mengatakan apa pun mengenai perilaku istrinya tersebut. Kendati tampaknya bahu itu terlalu tegar untuk menopang kesedihan kedua saudaranya, Liam berusaha untuk tetap berada di sisi wanita itu dan menghantarkan kekuatan lewat genggamannya.

"Na, makan ya?" bujuk Liam entah untuk yang ke berapa kalinya.

Nafsu makan Runa benar-benar menurun, bahkan wanita itu sama sekali tak mengeluh mengenai perutnya yang tidak diisi sejak kemarin malam.

Wanita itu menggeleng pelan, benar-benar merasa tidak lapar.

"Pengajiannya belum selesai," balas Runa dengan nada datarnya.

Penguburan jasad sang ibu memang dilakukan dengan cepat setelah menunggu kedatangan Arin, dan hari ini merupakan hari ketujuh setelah meninggalnya sang ibu. Saat ini suasana rumah ramai dengan suara pengajian.

"Ya udah, abis selesai ngaji kamu makan, ya?"

Runa sekadar mengangguk agar Liam tak lagi mencecarnya. Kebisuan Runa menjadi hal yang menakutkan bagi Liam. Wanita itu tak pernah mengeluarkan keluhan dari bibirnya, bahkan sampai saat ini. Tatapannya cenderung datar bahkan kosong, seakan pikirannya melalang buana.

Acara pengajian berjalan cukup lancar. Runa dan Arin dibantu oleh ibu-ibu tetangga untuk membagikan boks makanan sebagai penutup acara pengajian hari ini. Mereka berdua tiada hentinya mengucap kata terima kasih sebab sudah dibantu secara sukarela.

"Kamu mau ke mana?" tanya Arin saat melihat Runa segera beranjak setelah ibu-ibu tetangga yang membantu mereka tadi sudah pamit pulang.

"Ke kamar. Ngantuk," balasnya yang langsung saja melengos pergi. Arin hendak menyela, namun adiknya itu tampak kelelahan dan tak ingin diganggu. 

Wanita itu hanya bisa menghela napas setelah melihat kepergian sang adik, lalu dirinya beranjak menuju ruang makan. Arin baru ingat bahwa sejak siang dia belum mengisi lambungnya yang kini mulai terasa perih.

Saat mencapai ruang makan, dia menemukan sosok Liam yang tengah mengisi piring dengan lauk pauk. Pria itu pun juga menyadari kehadiran kakak iparnya.

"Mbak Arin, makan ya Mbak," tawar pria itu yang sejenak menghentikan aktivitasnya saat melihat keberadaan Arin.

Arin tersenyum tipis sembari mengangguk. 

"Oh iya, si Runa di mana ya, Mbak?" Liam bertanya sebab tak melihat sang istri yang membuntuti kakaknya tersebut menuju ruang makan. Padahal tadi dia melihat Runa bersama Arin sedang membagi-bagikan boks makanan ke tamu undangan.

"Ke kamar, tadi katanya ngantuk," balas Arin dengan jujur.

Tanpa sadar, Liam pun berdecak dan menghela napas. "Padahal dia belum makan dari malam kemarin."

Mendengar kalimat tersebut membuat Arin tersadar akan suatu hal.

Kendati Runa tampak biasa-biasa saja, adiknya itu juga sedang terpuruk. Dia bahkan tidak peduli dengan asam lambung yang mungkin sedang menggerogoti perutnya tersebut.

"Itu buat Runa, ya?"

Liam mengangguk. "Dia kalau nggak dipaksa mana mau, Mbak."

Wanita itu memang mengenal Liam sejak kecil, tapi hanya sekadar tahu saja sebab dulu Runa sering kali mengintili pria itu saat bermain. Ya, dibandingkan dengan kakaknya, Runa memang lebih senang bermain dengan teman laki-laki di kompleksnya.

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang