delapan

352 46 4
                                    

Dirinya tidak mengerti, kenapa dia harus menunggui Liam? Kenapa juga dirinya kali ini bahkan sudah berada di satu mobil dengan pria tersebut?

Entahlah. Namun, intinya, ini lebih baik dibanding harus menampangkan wajah batu di hadapan para sanak saudaranya. Walaupun sudah terbiasa, kadang dirinya ingin menerkam langsung. Tapi, sayangnya, tentu saja; dirinya harus menjaga nama baik sang ayah dan mama.

"Gue belum makan, nih. Makan dulu, yuk? Lo udah?"

Ya belum, lah. Wong, dirinya saja datang mepet menuju beberapa menit sebelum acara dimulai. Dan lagi, setelah melakukan adu mulut dengan sang adik, Runa langsung saja pamit mengundurkan diri.

Yah, sebagian juga karena diusir, sih. Tapi, toh dirinya tak terlalu merasa tersinggung. Memang dari awal saja Runa tak ingin datang ke acara tersebut, kalau saja sang ibu tak memaksanya.

"Oke."

Keduanya tak lagi saling melempar vokal. Bahkan, Runa juga tak terlihat menolak saat mobil yang dikendarai Liam berhenti tepat di depan warung masakan Padang.

Setelahnya, mereka berdua masuk ke dalam, melakukan pemesanan sebelum mencari tempat duduk.

"Bang, lauknya ikan bakar, kikil, sama telor dadar. Acarnya dibanyakin ya. Minumnya, es teh tawar. Inget, tawar. Awas kalau kerasa manis."

Liam mendelik, lumayan kaget saat mendapati pesanan yang diinginkan wanita ini.

"Lo habis segitu banyak?"

"Diem. Jangan ngajakin orang laper buat ngomong."

Tanpa menunggu Liam memesan, Runa pun langsung mencari tempat duduk yang kosong.

Memang. Ketimbang masalah yang dirinya ciptakan di rumah tadi, Runa lebih merasa kesal saat mendapati perutnya belun terisi. Bawaannya jadi kepengin marah-marah mulu. Tuh, salah satu korbannya, kini sudah duduk di hadapannya.

Liam sepertinya paham, bila Si Boncel sedang berada dalam mode kucing garong. Jadi, daripada mengamuk gara-gara dirinya banyak melempar tanya, lebih baik diam saja sampai makanan datang. Sepertinya, memang cuma itu pawang angkara si wanita ini.

Runa pun mengisi kekosongan tersebut dengan menyemil satu bungkus kerupuk yang tersedia di meja. Sebelum merobek bungkusannya, wanita itu sempat menggeprak untuk menghancurkan makanan garing tersebut, lalu baru bisa dinikmati sebelum makanan utama datang.

Liam sendiri belum paham kenapa kali ini Runa tampak lebih jutek dari biasanya. Tadi, saat dirinya absen muka serta langsung pamit pada sang calon mertua, dirinya disuruh cepat-cepat untuk menyusul Runa yang baru saja keluar dari rumah tanpa memberikan alasan kenapa anak perempuannya itu lebih dulu meminta untuk pulang. Padahal, dari awal, dirinya memang sudah menyuruh wanita itu untuk menunggunya sejenak.

"Gue kesel tau A', sama lo," tiba-tiba saja sang wanita berucap sembari mengunyah kerupuknya. Bersungut sih bersungut, tapi tetap lanjut sibuk dengan kerupuk hancurnya itu.

Nah, kan, padahal sedari tadi Liam nggak ngapa-ngapain, tapi wanita itu malah main lempar kekesalan saja.

"Atuh ogut mah ada salah apa sama situ?"

"Ya elo!" Runa menggebrak meja, membuat abang-abang yang mengantarkan makanan dua orang dewasa ini sempat terkejut. Untung saja makanannya nggak jatuh. Abangnya terbiasa tari tor-tor soalnya, makanya piringnya bisa seimbang di kedua tangannya itu. "Eh, sori, Bang. Nggak sengaja."

"Mbaknya mau saya bawain beduk masjid biar gebukannya lebih mantap?"

Liam terkekeh, sedangkan Runa merengut, kembali mengucap maaf. "Sorilah Bang, saya terlalu semangat buat ngomelin Aa' saya ini."

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang