tujuh

363 46 1
                                    

"Kemajuannya sekarang gimana?"

Alisnya menukik, sebab belum paham betul dengan maksud pertanyaan mamanya itu. Tapi, kalau diperdengarkan lagi, sepertinya sang ibu tak memiliki niat dalam mempertanyakan pekerjaannya. Memangnya, sejak kapan mamanya memiliki minat untuk mengetahui pekerjaan yang bahkan dari awal sudah tidak disetujui? Walaupun, sekarang sudah berbuah manis di saat dirinya sering kebanjiran job di luar negeri setiap bulannya.

Bahkan, mungkin, yang mendukungnya saat itu hanya sang ayah. Hm, walaupun sebenarnya, dirinya juga tak tahu kalimat sang ayah masuk ke dalam mendukung atau bahkan mungkin menyindir.

"Biarin aja, dia udah gede. Nggak perlu kamu atur-atur lagi. Kalau emang nanti bakalan sukses ya bagus, kalau gagal ya salahnya sendiri. Namanya juga risiko."

"Kemajuan apaan?"

"Kamu sama Liam, lah. Kok, kayaknya kalian diem-diem aja sih sampe sekarang? Kenapa kamu nggak pernah ada cerita ke mama?"

Runa mendesah. "Ya karena emang nggak ada yang penting. Buat apa cerita."

Dari tiga anak yang dilahirkannya, memang Runalah yang paling cuek di antara tiga bersaudara itu. Sifat ayahnya memang terlalu mendominasi dalam aliran darahnya, hingga terkadang, membuat sang ibu turut takut saat menghadapi Runa yang terlihat garang saat bahkan dirinya hanya sedang melamun.

Anak perempuannya ini, sungguh misterius. Sampai saat ini, bahkan sang ibu belum memahami sepenuhnya bagaimana karakter sang anak.

"Ya nggak bisa begitu, dong. Kenapa kalian nggak ada omong-omongan buat tunangan? Apa ternyata kalian mau langsung nikah aja?"

Wanita itu berdecak. Nggak ngerti lagi, semenjak sang adik melangkahinya untuk menikah terlebih dahulu--yang bahkan Runa tak sedikit pun merasa terbebani akan hal itu, sang ibu terus saja merecokinya untuk segera menikah.

Dan tentu saja; selalu berbuntut kegagalan.

Kecuali yang satu ini; dengan Liam.

Setidaknya, dengan pria tersebut, Runa tidak secara langsung menolak. Bahkan, mungkin, memang hanya Liamlah yang bertahan cukup lama, kendati sampai saat ini bahkan sang anak tidak pernah menceritakan bagaimana kelangsungan antara keduanya.

"Mama tuh kenapa sih ngusul perjodohan gini? Sama Liam pula."

Sebenarnya, bukan hanya Liam saja, sih, tapi juga dengan para mantan-mantan perjodohan dari sang ibu. Berasa kayak nggak laku sang anak ini. Padahal, kalau dilihat-lihat, ketimbang cantik, Runa lebih ke arah manis.

Itu pun perlu mata batin untuk bisa melihatnya.

"Emangnya kenapa sama Liam? Dia baik, kan? Perasaan, anaknya baik-baik aja tuh. Sopan terus sama mama."

Runa memutar bola matanya. Ya, namanya juga pencitraan. Nggak mungkinlah pria itu menjelek-jelekkan dirinya di hadapan sang calon mertua. Apalagi karena kedua orang tuanya sudah mengenal sangat lama.

"Kalau aku bilang mau ngebatalin, mama marah nggak?"

Nah, padahal, Runa hanya menggunakan vokal yang cukup datar. Nggak ada nyolot-nyolotnya sama sekali. Tapi, hal itu saja sudah membuat isi kepala sang ibu mendadak ingin pecah.

"Kamu tuh kenapa sih ngebatalin perjodohan terus? Nggak punya pacar pula. Nggak malu kamu umur segini masih belum nikah?"

"Enggak, tuh, biasa aja."

Inilah yang paling menyebalkan dari sifat sang anak. Kadang, sang ibu tak bisa memahami, apakah kini Runa sedang marah, atau justru benar-benar bersikap biasa saja. Dirinya terlalu apik untuk mengendalikan emosi. Padahal, mamanya saja sudah ingin menyerocos bak gunung meletus, kalau saja tak ingat bila rumah sudah mulai dipenuhi para tamu; sang menantu yang kini sedang mengadakan syukuran tujuh bulanan.

"Ngapain aku malu? Orang aku udah sukses, banyak duit. Tanpa laki-laki aku juga bisa hidup mandiri."

"Jangan sembarangan ngomong!" Mama refleks memukul lengan sang anak, yang kemudian dibalas dengan tatapan tajam sekaligus ringisan.

"Sembarangan apanya? Orang itu kenyataan. Emangnya aku kayak Deni yang masih netek sama mama terus?"

Kiasan berupa sindiran itu; tentu saja sangat dipahami oleh sang ibu. Entah kenapa, dirinya merasa kecewa saat Runa mengatakan hal tersebut.

"Kok kamu jahat banget sih ngatain adikmu kayak gitu, Run?"

"Ya belain aja terus, Ma," Runa hanya mengedikkan bahunya.

"Lo nggak suka kalau gue sama Vanka tinggal sama Mama?"

Tiba-tiba saja, yang dibicarakan muncul tanpa salam. Runa sendiri, nggak terlalu terkejut jika ternyata sang adik mendengar ucapannya.

Sebenarnya, malah bagus, sih. Sudah lama sekali dirinya ingin membicarakan hal ini, walau sepertinya ia salah waktu saat mengangkat topik tersebut.

"Emangnya gue pernah ya ngomong nggak suka?" Runa mencoba membalikkan pertanyaan sang adik, yang justru kini dirinya dilempari tatapan penuh kekesalan. Untungnya, bukan sang adik ipar yang mendengarkan. "Gue cuma mau lo sadar diri, mau sampai kapan gelayutan manja sama mama ayah? Udah mau punya buntut dua, tapi masih mamaboy," Runa pun berdecih.

"Runa!"

"Ma, kalau Mama nggak tegas, anak ini bakalan gelayutan sama Mama terus. Apa Mama nggak ngerti maksud Runa?"

"Tapi kamu nggak perlu ngomong kasar kayak gitu, Run..."

"Ma," Runa pun berdecak. "Ini anak terlalu budek buat dikasih kata-kata halus. Dia--"

"Lo...." Sang adik memotong ucapannya kakaknya, kepalang kesal, namun dirinya tak ingin berteriak. "Mending lo nggak usah di sini. Jangan bikin acara anak gue berantakan."

"Yang mau di sini siapa emangnya?" Runa membalas begitu santainya. "Kalau Mama nggak maksa, gue juga nggak bakal ikut acara beginian." Setelahnya, Runa menoleh ke arah sang ibu, lalu beranjak untuk berdiri. "Tuh, Ma, aku diusir sama anak kesayangan Mama. Lagian, aku nggak dibutuhin di sini. Jadi, mending aku balik ke apartemen."

Runa hanya mencium sekilas pipi sang ibu, lalu menyempatkan diri untuk berdiri tepat di hadapan sang adik.

"Lo.... awas aja lo sampai minta uang lagi ke gue. Nggak akan gue kasih!"

Tanpa berpamit dengan yang lain, Runa pun langsung keluar dari rumah. Pura-pura tak mendengar saat beberapa orang memanggil namanya. Kalau berakhir seperti ini, sih, mending dirinya dari awal tak ikut saja. Toh, dirinya memang tidak memiliki peran yang penting dalam acara tersebut, yang hanya bertujuan untuk menampakkan wajah di  hadapan para tamu sebagai salah satu anak dari orang tuanya.

"Loh? Ncel? Mau ke mana?"

Berusaha untuk tidak menggubris, namun langkahnya terhenti saat merasakan cekalan di pergelangan tangan.

"Lo ngapain di sini?" Malah dijawab dengan nada sinis, bahkan Liam sampai bingung kenapa dirinya terkena sambitan di saat bahkan pria itu tak sedikit pun melempar sesuatu yang membuat wanita ini terlihat kesal.

"Gue diundang, ya gue dateng."

"Oh, ya udah."

Runa nggak begitu peduli, toh itu urusan Liam. Padahal, kalau dilihat-lihat, nggak ada relasinya juga hingga membuat pria ini harus diundang ke acara adiknya.

"Lo mau ke mana? Acaranya udah selesai?"

"Gue mau balik."

"Lho kok balik? Nanti yang nemenin gue di dalem siapa?"

Nah, kan, Runa jadi ikutan bingung. Kenapa juga harus ditemenin? Kenapa juga Liam setuju untuk datang ke acara ini?

"Ya itu sih urusan lo, gue mau balik duluan. Ada kerjaan."

Liam hanya mengembus napas pelan saat pergelangan wanita itu terlepas dari genggamannya. Tapi, melihat Runa yang berjalan terus ke arah gerbang, membuat Liam mengernyit. Hingga pada akhirnya, sang pria menghampiri wanita tersebut.

"Nggak bawa mobil?"

Runa hanya menggeleng, tak berniat untuk mengeluarkan vokalnya.

"Ya udah, bareng gue aja. Gue cuma mau absen muka di depan Tante sama Deni. Tunggu sebentar."

💜💜💜


whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang