Nyatanya, semakin mendekati hari di mana dirinya akan melepas status lajang, si wanita mulai merasa tidak tenang. Kendati raut wajahnya sama sekali tidak menampakkan bagaimana kondisi psikisnya saat ini, Kev bisa menilai dari kinerja Runa yang serba kacau. Dirinya juga sudah malas mengajak wanita tersebut untuk berdebat, sebab kekeraskepalaan Runa yang memang sulit untuk ditandingi. Tapi, kalau dibiarkan, pekerjaannya juga turut serta berantakan hanya karena asistennya itu melakukan beberapa kesalahan.
"Gue bilang libur, ya libur. Emang cuma lu doang yang nggak bahagia kalau dikasih jatah libur."
Kev memang tidak memiliki pengalaman dalam pernikahan, tidak dalam waktu dekat juga. Namun, dirinya paham bila urusan pernikahan pasti banyak dan melelahkan, sehingga Kev mempersilakan Runa untuk mengambil jatah libur. Akan tetapi, dengan sombongnya, wanita itu malah muncul di kantor seakan sedang menghadapi hari-hari biasanya. Padahal, besok dia mau menikah.
Iya, besok.
"Gue malah makin nggak tenang kalau di rumah," balas Runa dengan jujur.
"Ya nggak usah di rumah. Nyalon, kek. Spa, kek, luluran, biar besok lu nggak buluk-buluk amat." Kev sama sekali tidak menoleh, apalagi melirik.
"Di KUA doang, nggak ada resepsian segala. Luluran nggak luluran tetep aja gue mah buluk," entah Runa yang mencoba untuk memberi lelucon atau tidak, tapi Kev sama sekali tidak tertawa.
Kev pun berdecak. "Untung waktu itu lu nggak terima gue," pria itu pun menggeleng-geleng pelan, mengingat bagaimana dirinya pernah terpesona dengan Runa dan mengajak wanita itu untuk menjalin kasih. Yah, ini memang kisah lama. Tapi, rasanya, bahkan Kev menyesal telah mengingat-ingat kejadian tersebut. "Gue bersyukur Tuhan sudah memperlihatkan bagaimana keanehan lu yang tersembunyi selama ini. Nggak bisa ngebayangin gimana tahannya laki lu, Ru. Eh, atau ternyata lu berdua sama-sama aneh? Cocok udah. Klop."
"Gue nggak aneh! Cuma limited edition aja."
"Limited edition yang bahkan ogah gue beli," sarkasnya.
Sebenarnya Runa tidak sakit hati, tetapi perkataan Kev tersebut membuatnya sedikit merasa tertampar dan menyadari beberapa hal.
"Gimana caranya lo tau kalau lo cinta sama Nanda?"
Pria itu menukikkan alis, kali ini refleks menoleh ke arah Runa yang bahkan pandangan netranya terlihat mengawang; tidak jelas sedang menatap ke arah mana.
"Ape nih? Kok tiba-tiba ngomongin gue sama Nanda?"
Cinta lokasi antara fotografer dan model itu memang sudah sangat biasa, begitu pula bagaimana pada akhirnya Kev memilih untuk menjalani hubungan dengan Nanda. Bahkan, Runa saja sering dengan terang-terangan dimintai kontak nomornya dari model-model pria. Yah, dikasih, sih. Tapi nggak ada yang dibalas kecuali masalah pekerjaan.
Balik lagi pada dua manusia tersebut, di mana Runa menilai tolak ukur adanya cinta dalam hubungan adalah berdasarkan jangka waktu keduanya sudah berpacaran. Kalau dihitung-hitung, Kev memang sudah lama sekali berpacaran dengan Nanda. Padahal, kalau diingat-ingat, banyak model bule yang tertarik dengan pria berbahu lebar tersebut. Sayang sekali, Kev memilih untuk tetap setia walaupun rasanya cukup sulit.
Tergoda sedikit boleh lah ya.
"Ya jawab aja, sih," balas Runa sewot.
"Nggak ada alasan yang kayak gitu-gitu mah," kilah Kev.
"Alah basi," wanita itu mencebikkan bibir. "Apaan taun 2021 masih aja bilang 'cinti tidik bitih ilisin'. Pret dut taik."
Kev yang dinyinyirin pun merasa sebal. Kesannya, wanita itu meragukan cintanya pada sang kekasih. Padahal, Kev hanya bingung bagaimana merepresentasikan cintanya pada Nanda dalam bentuk kalimat.
"Yang paling gampang sih gue udah nyaman sama dia."
Runa melirik sinis. "Berarti selama ini lo nggak nyaman sama gue, gitu?"
Aduh, susah memang kalau ngomong sama pokcoy dikasih nyawa.
"Kalau diibaratkan nih ya, Nanda tuh kayak bunga, nah elu kayak setan, sebangsa dajjal lu emang," Kev menggeram kesal. "Ada situasi atau kondisi di mana suatu hal nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata, Ru. Termasuk cinta. Lo bakalan tau kalau lo udah terjun ke dalamnya. Ibaratkan dia kayak rumah; tempat lo berteduh, tidur nyenyak. Dan lo nggak suka kalau ada orang asing yang tiba-tiba masuk ke rumah lo, kan? Nah, secara sederhana, cinta kayak gitu."
Sebenarnya, Runa tidak paham-paham amat. Tetapi, dirinya mungkin akan mencoba merenungkannya setelah pulang dari kantor.
Dan Kev, pria itu berusaha untuk tidak berkicau lebih panjang lagi. Padahal, banyak sekali cabang pertanyaan dalam pikirannya setelah Runa mengajukan tanya yang sebenarnya cukup rumit itu.
Jatuh cinta atau tidak, itu bukan urusan Kev. Runa sudah dewasa, pasti wanita itu tahu mana pilihan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Lagipula, cinta bisa datang karena terbiasa, bukan hanya karena pandangan pertama saja.
Menikah adalah keputusan yang sangat besar, dan Kev tidak mau menginterupsi keinginan wanita tersebut di mana pada akhirnya Runa memilih untuk menikah setelah berkali-kali menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Kendati proses menuju pernikahan yang dirinya dengar langsung dari Runa terasa begitu janggal; seperti tidak ada tunangan, tidak ada cincin tunangan, menikah hanya di KUA, tidak ada resepsi, atau yang paling konyol adalah masih bekerja di satu hari sebelum pernikahan; Kev yakin, wanita itu tidak sedang bermain-main di dalamnya.
Tapi, tidak tahu juga, ya.
Hampir sepuluh tahun mengenal Runa, belum tentu spekulasinya benar.
"Yang jelas, sekarang, angkat pantat lu dari kursi, keluar dari ruangan, dan pulang sana. Terserah mau spa kek, luluran kek, atau hibernasi sekalian. Hasil kerjaan lo kacau semua hari ini, gue tau lo pasti lagi kepikiran buat besok. Jadi, daripada gue makin darah tinggi, pulang ya Neng. Lebih baik kerjaan lo numpuk daripada bikin masalah terus."
"Kok lo ngusir gue sih, Kev?" Pria itu tidak termakan umpan dari nada vokal sok sedih Runa.
"Mana kontak nomor laki lu?" Kev menengadahkan tangannya. "Sini, gue minta."
"Buat apaan?"
"Lu mau diseret keluar sama laki lu atau sama satpam? Ayo pilih buruan." Kev berdecak. "Lagian gue heran, seharusnya laki lu ngelarang buat kerja hari ini. Ntar kesannya malah gue yang maksa lo tetep masuk hari ini."
Benar-benar pilihan yang sangat buruk, jadi Runa memilih untuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan pulang sendiri.
"Bagus," sarkasnya setelah melihat Runa sudah merapikan barang-barang di mejanya. "Udah tau kan pintu yang mana? Jangan ketuker sama jendela. Nikmatin sisa waktu lu sebelum lepas dari masa lajang."
***