Keheningan mendominasi. Jujur, Liam tak bisa mengucapkan apa pun selain hanya ingin memberi afeksi lewat rengkuhan. Sayangnya, tubuh pria itu juga turut diam tak bergerak, mengikuti sang wanita yang sejak tadi memilih untuk membisu dan masuk ke dalam lamunannya sendiri.
"Lupain, tadi gue cuma asal ngomong," ucapnya tiba-tiba sembari tersenyum tipis. Namun, percuma saja, senyum tipis itu tak dapat mengelabui Liam.
"Na," panggil pria itu dengan nada pelan, membuat sang wanita menoleh; masih menampilkan raut wajahnya yang seakan menyiratkan keadaan yang baik-baik saja. "Lo mau sampai kapan kayak gini?"
Runa menukikkan alis, tak mengerti dengan pertanyaan dari Liam; atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak terpancing dan memuntahkan segala rahasianya yang selama ini selalu saja dirinya pendam sendiri.
Liam mungkin memang hanya mendengar sepenggal kalimat dari mulut wanita itu. Namun, yang dapat dirinya simpulkan; Runa telah menyimpan luka yang bahkan bertahun-tahun lamanya tak akan pernah bisa mengering, hingga pada hari inilah wanita itu tak lagi bisa menanggung segalanya.
"Kalau lo lagi ngerasa sakit, tolong jujur kalau lo emang lagi sakit, Na. I am all ears," Liam menghela napas sejenak.
"Nothing," balasnya dengan cepat. "Gue cuma lagi capek aja hari ini. Maaf kalau gue keterlaluan."
Mendengar jawaban tersebut membuat hati Liam terhantam sesuatu yang menyesakkan. Dia sadar, bahwa kalimat itu hanya sebuah dalih kebohongan untuk menutupi kesedihan sang wanita. Kecurigaannya selama ini membuahkan hasil, di mana sosok yang selama ini selalu terlihat kokoh di mata orang lain nyatanya hanyalah pecahan kaca yang serpihannya terus saja melukai diri.
Liam meraih salah satu tangan Runa dan menggenggamnya begitu erat. "Gue tau dan paham kalau lo mungkin nggak bisa percaya sama gue. Tapi gue harap, lo nggak perlu lagi bersikap sok kuat di hadapan gue. Berpura-pura kuat di depan orang lain, pasti juga bikin capek, 'kan, Na?"
Runa hanya terdiam, namun pria itu dapat melihat bila sudut mata sang wanita mulai kembali memproduksi air mata. Hingga pada akhirnya, Liam menarik tangan wanita itu dan merengkuh tubuhnya begitu erat. Dalam tangis sendunya, Liam berusaha menenangkan lewat kecupan di daerah pelipis sang wanita.
Lagi dan lagi, Liam dapat membuat tumpukan emosi yang selama ini terpendam luruh begitu saja.
"It's okay not to be okay, Na. We are only human after all."
Malam ini, Liam memang tak mendapati penjelasan secara detail mengenai apa yang sudah terjadi pada wanita itu. Hanya tangisanlah yang menemani perputaran waktu hingga menjelang tengah malam. Tidak, itu tidak masalah bagi Liam. Bahkan, ini lebih baik dibanding harus menghadapi Runa yang selalu saja bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Saat ini tubuhnya harus diserang rasa pegal-pegal sebab pelukannya tak terlepas hingga Runa meredakan tangisnya; yaitu pada saat kesadaran wanita itu terambil alih oleh rasa kantuk. Bahkan Liam harus berhati-hati saat ingin memindahkan posisi daksa itu untuk berbaring, seakan tak mau mengganggu wanitanya yang sudah mengarungi mimpi.
Jika memang tangisan panjangnya itu dapat mengurangi beban masalah yang selama ini selalu saja Runa simpan sendiri, Liam rela untuk merengkuhnya setiap malam.
***
Menghindar mungkin merupakan suatu hal yang perlu Runa lakukan untuk sementara waktu. Dia hanya merasa bodoh, kenapa malam itu mulutnya dengan lancang mengatakan tentang aib keluarganya sendiri? Kenapa dengan mudahnya dia terjatuh dalam pelukan sang suami dan meluluhlantahkan tangisan hingga membuatnya kelelahan dan akhirnya tertidur?