lima puluh tujuh

274 31 3
                                    

Kegelisahan menyelimutinya saat Runa menunggu sang suami di kamar. Bahkan bunyi denting jarum jam panjang saja sangat mengganggu pendengarannya.

Apa yang akan dilakukan oleh suaminya tersebut?

Bagaimana jika Arin dan Deni mengetahui tentang hal ini?

Akan tetapi bukankah memang ini yang diinginkan oleh Runa sejak dahulu? Membocorkan tentang kelakuan ayahnya di balik punggung sang ibu?

Namun, Runa rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat, apalagi mereka masih dalam masa-masa berkabung. Runa tidak ingin menambah beban hati pada dua saudara kandungnya tersebut.

Lamunannya terpecah saat mendengar seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.

"Run? Kamu di dalem?"

Itu Arin. Apakah suaminya menyuruh Arin untuk menemaninya di kamar?

"Iya, Kak, masuk aja," jawab Runa yang kemudian mengambil posisi duduk di ranjang.

Arin pun langsung masuk begitu mendapat izin dari sang adik. Setelahnya, wanita yang terpaut lima tahun dari Runa itu kembali menutup pintu dan ikut duduk di sisi ranjang.

"Kamu nggak papa?"

Runa mengernyitkan dahi saat mendapatkan pertanyaan seperti itu. Apakah ... kakaknya sudah tahu?

"Nggak papa apanya?" Runa masih berpura-pura bodoh.

"Kamu kenal sama tamu itu?" Arin kembali bertanya. "Bukannya kata kamu itu tamunya ayah, ya? Apa itu kerabatnya Liam juga? Tadi Kakak lihat dia ngobrol sama ibu-ibu itu."

Runa meneguk ludahnya dengan kasar. Entah kenapa lidahnya terasa begitu kelu. Padahal dia tidak melakukan suatu hal yang dapat membuat keluarganya terluka.

Namun, satu-satunya hal yang Runa sesali sampai saat ini adalah dia menjadi satu-satunya orang yang mengetahui duri di rumah tangga orang tuanya, dan itu membuatnya sangat tersiksa.

Lebih baik dia menjadi orang dungu yang tak mengetahui apa pun, sehingga dirinya dapat merasakan kebahagiaan kendati hanya sementara.

Mau tidak mau, akhirnya Runa pun mengangguk.

"Dia emang siapa?"

Runa tak langsung menjawab. Bahkan bola matanya bergerak dengan gelisah.

"Dia ... orang yang mungkin Kak Arin nggak--"

Tiba-tiba pintu terbuka, membuat kakak-adik itu langsung menolehkan kepala ke arah sumber suara. Liam yang menjadi tersangka pun juga turut kaget saat mengetahui bahwa kakak iparnya sedang berada di dalam kamar bersama sang istri.

"Eh, maaf. Aku nggak tau," ucap pria itu.

"Nggak papa, Lim," sahut Arin. "Kamu kenal sama tamu itu, Lim?"

Sekarang malah Liam yang mendapat serangan pertanyaan tersebut. Pria itu pun langsung melempar tatapan pada sang istri, melempar kode yang hanya diketahui oleh keduanya. Runa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan cepat.

"Enggak," jawab Liam sesuai instruksi dari sang istri.

Arin pun ber-oh ria. "Orangnya masih di bawah?"

Kali ini Liam menggeleng. "Udah pulang," jawab pria itu dengan jujur.

"Oh? Nggak nungguin ayah dulu?"

"Kayaknya kelamaan kalau nunggu ayah pulang ke rumah. Jadi ya, ya udah. Akhirnya orangnya pilih buat pulang."

Runa tidak tahu apakah itu hanya alasan yang dibuat oleh sang suami atau memang situasi yang benar-benar terjadi saat pria itu memilih untuk menemui wanita paruh baya tersebut.

Arin hanya menganggukkan kepalanya, masih merasa tak curiga dengan perilaku dua orang tersebut. Tapi entah kenapa rasanya ada yang mengganjal di hatinya. Namun Arin memilih untuk pamit dan beranjak keluar dari kamar adiknya tersebut.

Saat Arin sudah keluar dari kamar, barulah kali ini Liam yang menghampiri istrinya tersebut, mengambil alih posisi yang diduduki oleh Arin tadi.

"Tadi dia bilang butuh ketemu sama ayah," cecar Runa langsung tanpa berbasa-basi. "Kenapa dia bisa pulang begitu aja? Bahkan dia berani-beraninya dateng ke sini sampai bawa anaknya yang masih kecil. Dia pasti punya tujuan, 'kan, sampai nggak punya muka buat dateng ke sini?"

Liam tak langsung menjawab. Pria itu pun meraih tangan sang istri dan menggenggamnya dengan erat.

"Yang penting dia udah pergi, dan aku pastiin dia nggak bakalan dateng ke sini lagi."

"Aa' ngomong apa aja sama dia?"

Tentu saja Runa tak puas dengan jawaban suaminya tersebut. Masih sangat jelas dalam ingatannya bila wanita paruh baya itu mengucapkan kata 'butuh' padanya, yang itu artinya tidak mungkin wanita itu pulang sebelum tujuannya terpenuhi.

"Dia butuh uang, sayang," jawab Liam pada akhirnya, namun jawaban tersebut semakin membuat Runa murka.

Jadi, memang benar 'kan bila wanita paruh baya itu memiliki maksud tertentu hingga berani untuk menjejakkan kaki di teritorial miliknya?

"Katanya, udah lama ayah nggak pulang ke rumah mereka," lanjut pria itu.

Runa mendengus dan terkekeh sarkas. Sejujurnya, dia bukan merasa senang atas kondisi rumah tangga wanita itu. Amarah masih melingkupinya saat mengetahui tujuan wanita itu untuk datang ke rumahnya.

"Terus? Kata Aa' tadi ayah belum pulang ke sini, 'kan?"

Liam menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Aa' bilang apa ke dia? Sampai akhirnya dia mau keluar dari sini?"

Liam tak langsung menjawab. Namun, melihat kebisuan sang suami, membuat Runa dapat menyimpulkan satu hal.

"A' Liam ngasih uang ke dia?"

Lagi, Liam hanya bisa diam. Bahkan mereka berdua hanya bisa berperang mata; saling mengunci mulut sebab tak lagi mampu untuk berkata.

Tiba-tiba saja Runa tertawa sarkas, lalu wanita itu melepaskan genggaman dari tangan sang suami.

"Dasar nggak tau diri," gumam wanita itu yang jelas saja masih dapat terdengar dalam rungu sang suami.

"Sayang, nggak boleh gitu," tegur Liam dengan nada pelan. Mendengar hal tersebut membuat tatapan Runa memicing ke arah pria di hadapannya itu.

"A' Liam. Aa' tuh nggak punya kewajiban untuk ngasih uang ke dia, A'," ucap Runa dengan nada frustasi.

Liam pun menghela napas. Dia tahu hal ini akan menjadi perdebatannya dengan sang istri. Namun dibanding dirinya menyimpan hal yang sudah akan menjadi potensi konflik di rumah tangganya, lebih baik dia mengatakan yang sejujurnya sekarang juga.

"Maaf aku nggak izin dulu ke kamu," sesal pria itu. Namun Liam juga tahu jika dia meminta izin pun, sepertinya Runa tidak akan membiarkannya. "Aku ngasih uang ke ibu itu karena aku kepikiran sama anaknya. Dia berani dateng ke sini karena butuh nafkah buat anak-anaknya. Yang salah itu orang tuanya, sayang, bukan anak-anaknya."

Runa meresapi kalimat sang suami dalam diam. Rasanya dia ingin melampiaskan amarahnya, namun mendengar pernyataan Liam membuat Runa kembali berpikir.

Anak tidak memiliki kuasa untuk memilih siapa orang tuanya. Yang itu artinya anak tidak memiliki andil dosa yang dilakukan oleh orang tuanya, 'kan?

***

Double update ga tuh

whelve [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang