18.

11 11 1
                                    


Iva berjalan santai menuju rumahnya yang berjarak beberapa meter dari halte bus yang biasa mengantar pulang. Langkahnya ringan, masih senang karena Jack membawanya jalan jalan ke taman tadi. Farrel juga tak menelepon atau mengiriminya pesan, tak membebani hatinya. 

Iva melangkah lebih cepat. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku hoodie. Seperti biasa hawa sekitar tak pernah lepas dari dinginnya angin malam.

Tapi ada yang tak beres dengan rumah Iva.

Gadis itu telah sampai di depan rumah dengan sambutan tiga mobil berjejer dan orang berpakaian hitam di sekelilingnya.

Kakinya seketika terpaku. Tubuhnya tertahan untuk kembali melangkah, bingung apa yang harus dilakukan. Mereka siapa? Apa mungkin komplotan orang yang menerornya?

Satu di antara banyak orang itu menyadari kehadiran Iva. Mereka yang lain mulai memandang Iva juga.

Di saat tangan di balik hoodienya gemetar ketakutan, muncul seorang pria dari mobil silver yang berada di tengah, keluar dengan begitu gagahnya.

Iva ingin menonjok-nya jika saja ia tak punya sopan santun.

Kini ia sama sekali tak takut. Kakinya melangkah menghampiri lalu menuntut meminta penjelasan.

"Ini ap..-"

"Buka pintunya." Farrel berkata datar, masih kesal dengan perlakuan Iva yang asal memutuskan siang tadi. Iva tak tau apa, ia sudah repot repot membeli satu kotak donat takut takut Iva lapar sepulang sekolah?

"Ini apa, Farrel?"

Farrel menghembuskan napas jengah. Ia tarik Iva paksa agar gadis itu mau melaksanakan perintahnya. "Nurut aja,"

Iva cemberut tapi tetap menurut. Ia ambil kunci rumah dari saku celananya. Bagaimanapun ia harus memaklumi sikap Farrel karena mungkin Farrel kesal tak pulang bersamanya tadi siang.

Orang serba hitam itu--yang Iva yakini adalah bawahan Farrel--berpencar keseluruh sudut rumah dengan berbagai peralatan di tangan mereka. Apa apaan, nih?

"Rel mereka ngapain? Mau ngapain rumah gue?" protes Iva.

"Udah diem aja."

"Ini rumah siapa coba? Nggak izin dulu gitu?"

Farrel tatap gadis yang kebingungan itu. Bener sih apa yang Iva omongin.

"Cctv, supaya kita bisa tangkep peneror itu."

Iva terkejut sebentar. Ia pukul lengan Farrel kuat.

Menyebabkan sang pemilik meringis kesakitan. "Apa sih, Va?"

"Bicara sama gue dulu nggak bisa?" keluh Iva.

Farrel berdecak. Ia tersenyum miris lalu berkata. "Suruh siapa pulangnya nggak sama gue? Lo nggak ngira gue mau ngomongin ini tadi siang?"

Y..ya mana gue tau, pikir Iva.

Farrel mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Ia tarik Iva yang berdiri beberapa langkah darinya, supaya duduk disampingnya.

"Cctv-nya dipasang di semua sudut rumah, termasuk kamar lo dan kamar Gavin. Karena kemungkinan besar, dua tempat itu target utama si peneror itu."

Iva mengangguk paham. "Terus?"

Farrel tersenyum sebentar. Iva terlihat lucu di matanya. "Jadi kita bisa ngikutin kemana orang itu pergi. Kita nggak tau dia sendiri atau ada orang suruhan yang lain."

"Serem, dong? Nanti kalo mereka bawa pistol atau semacemnya, gimana?"

"Udah itu urusan gue,"

Mereka terdiam sejenak. Orang yang Farrel suruh itu perlahan keluar telah menyelesaikan tugasnya. Salah satu dari mereka membungkuk sopan yang Farrel balas dengan anggukan.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang