19.

15 9 0
                                    


Siang ini Farrel tengah berjalan pelan menuju sekolah Iva. Ceritanya tengah mogok menggunakan mobil yang faktanya dibelikan oleh sang ayah. Farrel sedang tak mau menggunakan semua fasilitas ayahnya, ternyata.

Beginilah kebiasaan setelah ia dan sang ayah bertengkar, berawal kurang lebih dua bulan yang lalu. Farrel pergi seenaknya, tanpa pamit atau apapun pada orang rumah yang katanya hari ini sedang bersiap kembali ke Kota Besar Seoul itu. Ia bahkan pergi pukul empat pagi, tanpa tujuan yang jelas dan berakhir Ricky yang harus bangun pagi pagi sebagai imbas pertengkarannya. Ricky hampir menendang Farrel ke tengah jalan jika saja Farrel bukan temannya.

"Ngapain kabur kaburan segala, sih? Kek bocah aja."

Farrel yang saat itu sibuk bermain game menjawab. "Tidur aja sono. Gue nggak akan bikin kapal pecah di rumah lo, kali."

Ricky berdecak. Ia amati Farrel sebentar lalu duduk di sebelahnya. Matanya kalau sudah terbuka pagi pagi begini, susah untuk terbang ke alam mimpi lagi. Ia berucap, dengan nada yang sedikit menantang. "Lawan gue kalo berani, mah."

Farrel menanggapinya dengan santai. "Mobil lo gue pake kalo menang."

Ricky tersenyum miring. Ia minum soda lemon sebentar. "Tabrakin aja sekalian, lagian lo nggak akan bisa menang dari gue."

Sayangnya Ricky benar, dan berakhirlah Farrel yang berjalan di teriknya panas saat ini. Temannya itu menyebalkan. Berbaik hati untuk hari ini saja tak bisa, ya?

'Lo yang salah, ya. Waktu gue mau curhat malem itu, gue nggak pernah ngeiyain tuh, acara tolong menolong lo.'

Farrel tendang batu kecil yang naas menjadi sasaran kekesalannya.

Dasar. Ricky dengan segala kepelitannya.

Orang itu seakan lupa dengan baiknya Farrel saat mau membuat kebohongan tentang bolosnya Ricky untuk bermain game pada ibunya. Lupa akan teman terbaik yang saling pukul memukul saat SMP. 

Farrel berhenti. Memperhatikan dua orang siswa yang berselisih di dekat gerbang sekolah. Kalimat kalimat gombal yang disampaikan beberapa siswi atas kekaguman wajah tampannya hanya dibalas dengan senyuman. Dua orang itu nyatanya lebih menarik perhatiannya.

"Minggir nggak!" Iva berseru, bisa di dengar satu dua orang yang jalan di sekitarnya.

"Nggak. Sebelum gue boleh nebeng sama lo."

Iva memutar bola matanya malas, menahan untuk tak memukul orang di depannya. "Gue sih mau mau aja ya," ucapnya, menendang roda depan sepeda miliknya. "Tapi lo bisa liat kan, roda gue kempes kaya gini?"

Jack memandang benda bulat itu lalu mengangguk.

"Naik bus atau ojol aja sana, sepeda gue nggak butuh penumpang."

"Terus, lo mau pulang gimana? Nggak mungkin kan, di tuntun gitu sampe rumah?"

"Gue mampir ke bengkel sepeda dulu di depan,"

Jack tersenyum. "Jadi, gue bisa nebeng lo kalo sepedanya udah bener, kan?"

"Pinter juga lo," puji Iva malas. Ia berjalan menuntun sepedanya, keluar sekolah dengan Jack yang mengikuti di samping.

Iva bukannya tak mau, sih. Tapi ia enggan singgah ke sana sini karena Jack pasti ingin jalan jalan dulu sebelum pulang ke rumah masing masing.

"Lagian motor lo kenapa sih? Kemarin gue liat baik baik aja, tuh,"

"Motor gue min..-"

Iva memandang Jack yang menghentikan ucapannya. Terlihat sebal dengan orang yang berdiri di depannya.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang