Semua memiliki garisnya sendiri. Semua akan baik, jika Tuhan menghendaki. Semua baik jika manusia mau berusaha memperbaiki.Layaknya garis yang bisa membelok kapan saja, menuju tujuan yang berbeda, porsi yang ditemui tentu tak sama rata. Setiap detik mempunyai rasa yang berbeda, memiliki takaran yang tak punya pemberitahuan. Manusia hanya bisa menerima.
Di sini tak ada yang mampu disalahkan. Penyebab dan akibat yang ditimbulkan, hanya beberapa yang tau cara menghadapinya. Mereka, yang tau bagaimana cara bertahan lebih lama. Mereka yang tak putus asa saat hanya harapan yang tersisa.
Untuk Iva, ia menyerah. Ia menutup mata seakan tak dapat membukanya kembali. Ia putus asa karena seperti itu pemikirannya, tak bisa menahannya lebih lama. Dirinya sendiri yang memikirkan akan hal bernama gagal.
Lalu, sesuatu yang ia takutkan terjadi adanya. Sesuatu yang bukan ia yang mau, sesuatu yang membuatnya kabur tanpa boleh kembali lagi. Putusnya pertemuan mereka tanpa diperbolehkan ada lain kali.
Seperti itu, Iva kehilangan semuanya. Iva menghilang tanpa pemberitahuan. Seperti itu yang Iva pikir akan berakhir. Seperti itu Iva berakhir dan akan bertemu Mama setelahnya.
"Va,"
Iva tercekat, ia menatap kosong langit putih yang didapati dari baringnya. Ia tak tau harus berbuat apa, karena ia gugup dan khawatir saat menghadapinya. Benarkah? Sebuah dunia baru, sesuatu yang baru. Benarkah bersama Mama yang sangat ia rindukan?
Namun, sejujurnya, Iva ingin sekali kembali. Ia merasa sangat ketakutan di sini.
"Hei, sayang,"
Iva mencengkeram sisi seprai yang ternyata menjadi alas baringnya. Rasanya mendebarkan, tetapi Iva sama sekali tak suka. Ia rindu Mama, tetapi bukan begini jawabannya. Ia, belum mau bertemu Mama saat apa yang ia perbuat belum selesai.
"Love,"
Secepat kilat Iva terduduk, menoleh ke samping kiri. Napas panjang nan lirihnya terdengar begitu hampa, begitu pun lega. Lega, sungguh lega luar biasa. Hingga ia menangis dalam bersama tundukan kepala yang pasrah. Menangis meluapkan semuanya.
Farrel beralih duduk di depannya, beberapa samping mengenai kaki kiri Iva yang tertutup selimut. Ia mengambil satu tangan Iva dan mengelusnya. "Everything is okay,"
Iva menangis lebih, berterima kasih atas sesuatu yang sangat ia harapkan. Hal yang membuatnya luar biasa ketakutan. Suatu kebaikan dan kesempatan yang masih mampu ia terima.
Tak ada lagi suara selain tangis, setelah Iva menunduk lebih dalam dan menyandar pada Farrel membutuhkan pelukan. Sebelum kemudian Farrel mengambil ponselnya tanpa mengubah posisi, dan mengangkat telepon dari seberang. Farrel tak berbicara apa-apa, hanya si penelepon yang tak mau Iva peduli siapa.
Karena Iva hanya perlu menangis, menyingkirkan tekanan dalam hatinya. Ia mengosongkan pikiran tak membuat lebih banyak ketakutan.
Iva menggigit bibirnya saat panggilan pada Mama hampir terucapkan. Membuat tangisannya lebih panjang dan pedih terasa. Di atas sana, mungkin Mama melihat dan merindukannya. Namun Iva juga tau Mama sama-sama tak mau bertemu sekarang. Mama pasti tak suka jika Iva pergi seenaknya, meninggalkan masalah.
Iva mencengkeram sisi kaos Farrel, menangis dengan ritme yang tak beraturan. Farrel membuatnya lebih tenang saat punggungnya diusap naik turun lembut. "Gwaenchana. Museopjima."
Namun, Iva janji akan membuat semuanya kembali menjadi baru. Bukan seperti dulu, tetapi yang lebih nyaman dan hangat. Antara satu sama lain, dirinya dan sekitarnya. Ia janji, karena Mama tengah mendengarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...