34.

2 0 0
                                    


Bukan ingin menyimpulkan--karena Iva sendiri belum lama mengenal--sesuka hati, sok tau atas perilaku orang lain. Namun, merasakan bagaimana interaksi dengan Ray beberapa hari ini, Ray bukan sekedar adik yang manis.

Ray adalah orang yang mampu memposisikan diri. Itu bagus, Iva bangga.

Ray adalah sosok yang menyayangi keluarga. Sekeras apapun Papa, sebanyak apapun Papa memukul, Iva tau Ray sangat menyayangi Papa. Ray menjaga Papa, menuruti permintaannya walau harus melukai seseorang. Mungkin, pada awalnya Ray menolak.

Namun, Ray juga menyayangi Mama. Yang tak bisa merasakan keberadaan-nya karena Iva membuat Mama pergi. Karena rasa sayang itu, Papa mempengaruhi Ray agar melukai Iva. Memberitahu, ialah yang membuat Mama pergi meninggalkannya.

Ray kasar. Persis seperti Papa, bahkan lebih parah. Bagaimana rencana Ray untuk melukainya, bagaimana Ray mendekat dan mulai melancarkan rencananya, berpura-pura baik pada Iva, Iva tau Ray pribadi yang kasar. Ray yang mampu membalas lebih orang yang telah melukai sosok yang ia sayang.

Namun, Papa juga sama. Papa sayang Mama dan Ray, hingga perginya Mama membuatnya putus asa. Papa tak mampu bertahan sendirian, apalagi saat Mama pergi saat itu, usia Ray baru empat tahun. Ray kecil, pasti malah mengingatkan Papa pada Mama yang masih berusaha mengikhlaskan. 

Maka dari itu, Papa melampiaskan amarahnya pada Ray. Mempengaruhi Ray menjadi sosok yang pendendam, melukai orang yang membuat Mama pergi. Hingga semuanya tak kunjung selesai, membiarkan situasi memburuk tanpa mau memperbaiki.

Papa dan Ray terluka atas kepergian Mama. Papa dan Ray tak tau bagaimana emosinya sendiri, tak tau bagaimana harus menanggapi. Berjalan dengan arah masing-masing, walau Iva tau tujuannya sama, melukainya.

Papa dan Ray sesayang itu akan keluarga. Sangat menghargai hubungan darah yang mengikat sesama, bahkan atas orang yang telah pergi meninggalkan. Hilangnya seseorang membuat mereka berantakan. Namun begitu, hadirnya seseorang juga membuat mereka lega.

Papa mencengkeram bahunya. Kuat, hingga Iva meringis kesakitan. Rahang Iva mengeras. Berusaha siap jika tiba-tiba pukulan mengenai pipinya. Walau sebenarnya, Iva mati-matian berusaha menghentikan air mata.

Napas memburu Papa bisa Iva rasakan jelas. Mengenai kening yang berkeringat dingin, tau Papa tengah menunduk menatapnya tajam.

Rasa bersalah tiba-tiba memenuhi hati Iva, sesak. Merasa berdirinya ia di depan Papa sama sekali tak pantas. Ia menunduk, menggigit bibir.

"Maaf, Pa," lirihnya pelan. Napasnya habis, tercekat. Mengaku menjadi manusia yang membuat hancur semuanya.

Iva merasa titik tumpunya menghilang. Seakan bisa ambruk dari tegaknya. Ia jadi tak bisa membedakan mana mimpi dan nyata, terlebih saat bahunya dielus lembut.

Ketakutannya menghilang, kembali sia-sia saat Papa menariknya, membawanya dalam pelukan.

Papa tak bisa menetapkan apa yang harus dilakukan. Papa muak dan putus asa, berusaha membuat keputusan saat tubuhnya hampir menyerah. Di kegelisahan itu, pemikiran Papa hanya sebatas harus membalas dengan setimpal. Sekalipun putri kandungnya sendiri yang harus dilukai. Sekalipun ada penolakan dari dalam tubuhnya.

Iva paham. Iva paham Papa terluka hingga beralih benci padanya. Padahal, pelukan Papa mengatakan Papa sayang padanya. Terlebih, karena Iva tak tau apa-apa dan tak berusaha mencari tau, Papa menjadi lebih tak suka padanya. Putri yang tak mau mencari, tak tau bahwa dibalik ego besarnya Papa sebenarnya menunggu.

Iva sangat bahagia saat ini. Walau ia kesal saat Papa melepas pelukan, menyuruhnya istirahat tadi. Setidaknya, jika semua spekulasi Iva benar, Papa masih mau menerimanya. Hanya jarak dan waktu yang membuat Papa keras dibutakan oleh amarah kepadanya.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang