11.

25 23 0
                                    


Farrel melangkahkan kakinya mengelilingi lingkungan sekolah, meninggalkan Nadin yang tengah mencari suaminya yang lagi lagi tengah meeting disini. Lagian, emang istri harus mengikuti kemana suaminya pergi, ya? Setiap saat? Ribet.

Sekolah yang luas. Tempat yang ia pijaki adalah gedung kelas sebelas dan duabelas yang berjumlah tiga lantai plus rooftop yang sepertinya nyaman dikunjungi saat cuaca pagi hari seperti ini. Didepannya terdapat satu gedung lagi untuk kelas sepuluh, ruang guru, laboratorium, dan ruangan khusus lainnya. Lapangan besar menjadi sekat antara kedua gedung itu dengan pohon pohon rindang yang mengelilingi. Jadi begini keadaan sekolah Iva?

Iva, ya? Pandangannya kosong saat mengingat percakapan mereka di pantai kala itu.

Kepalanya menatap sekitar dan sadar kakinya telah membawanya ketempat ini, koridor kelas 12. Apa Iva ada di salah satu kelas yang berada dikoridor ini?

Langkahnya berlanjut dengan mata yang berusaha melihat kondisi setiap kelas berharap menemukan sosok Iva. Tiba di depan kelas 12 MIPA 3, matanya berhasil menemukan Iva yang tengah fokus mendengar ocehan guru, sesekali mengedipkan matanya--Farrel yakin karena tak paham atas apa yang guru itu jelaskan.

Kiyeoweo

Farrel hendak melangkah kembali, namun sosok yang duduk di sebelah Iva menarik perhatiannya.

Ck. Tuh cowok ganggu terus.

Memiringkan kepalanya tak percaya, Farrel memperhatikan lebih detail pria di sebelah Iva yang sesekali menyentuhkan bolpoint ditangannya pada lengan Iva--menjahili--yang hebatnya tak digubris sama sekali oleh Iva. Oke. Farrel tak percaya mengapa Iva tak memperingati atau memberikan tatapan tajam pada cowok itu.

Terus terang Farrel menahan gejolak panas yang entah mengapa menguasai tubuhnya. Mencoba acuh, kakinya kembali melangkah walau terasa berat. Saat ia bertemu dengan seorang guru diujung koridor, pikirannya kembali fokus akan tujuannya datang kesini. Farrel tak pernah mau menemani Nadin atau siapapun itu tanpa ada kemauan yang mendesak, seperti sekarang ini.

"Permisi Bu. Apakah saya boleh melihat data siswa yang sekolah disini?"

Farrel tau pihak sekolah tak akan memberitahukannya begitu saja. Namun ia harus mendapatkan data itu, menuntaskan rasa penasaran yang menderanya sejak kemarin malam.

÷÷÷

Iva tahan dengan tangan Jack yang memainkan rambut belakangnya. Biarpun banyak siswa yang jijik melihat mereka, Iva tak apa karena Jack merupakan salah satu temannya. Dipikir pikir, Iva tak tau bagaimana jalan pikiran siswa lain--mengapa membenci orang yang sama makan nasi? Ada gunanya, ya?

Jack sendiri sibuk dengan kegiatannya--memainkan rambut Iva, acuh terhadap namanya yang terjatuh jauh ditingkat paling bawah karena berteman dengan batu berjalan. Jack hanya khawatir jika namanya tercoreng dimata para guru, bukan teman temannya. Lagipula Jack mencari ilmu, bukan mencari musuh. Juga mereka kelas duabelas, sebentar lagi keluar dari sini walau nyatanya baru beberapa hari yang lalu Jack menempati.

Mereka baru saja mengisi perut setelah mendapat asupan Matematika, pelajaran yang membuat Jack menguap tak terhitung berapa banyaknya. Tadi sempat bertengkar, memilih dimana tempat pilihan mereka. Jack ngotot pergi ke kantin ingin membeli nasi uduk, Iva ngotot pergi ke halaman belakang gedung, tempat pedagang berjejer rapi untuk membeli siomay.

"Pokoknya nasi uduk!" Jack tidak mau mengalah karena perutnya benar benar kosong sebab pelajaran Matematika tadi. "Makan siomay mah nggak kenyang," gerutunya, menahan nahan Iva yang berjalan menuju halaman belakang gedung.

"Siomay."

Jack masih kekeh. "Nasi uduk, Va. Makan siomay nggak sehat, tau."

"Nggak papa kalo nggak keseringan." Iva masih berjalan, mengabaikan tangan Jack yang berusaha menariknya berbalik arah.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang