29.

7 1 0
                                    


Serasa hampir pecah. Farrel seharusnya bisa menemukan solusi atas masalah yang ia buat sendiri. Namun, sekedar fokus saja, ia tak bisa. Hanya Iva yang memenuhi pikirannya.

Sebenarnya, sejak awal ia tau, Iva tak akan pulang ke apartemen kakaknya. Ada secercah harapan yang cowok itu percaya, walau hanya sekian persen bisa terkabulkan. Lalu benar, terkadang harapan hanya sebuah harapan.

Apartemennya kosong. Sekalipun Iva pulang, gadis itu tak bisa masuk karena ia tak memberitahu password pintu. Pulangnya yang hampir dini hari itu disambut oleh sepi. Hening, berangsur suara cerewet Iva yang menyapa telinganya. Pagi tadi Farrel tau, Iva yang cerewet lebih baik daripada Iva yang menjauh darinya. Ya ... walaupun Farrel tak tau apakah Iva sudah mulai menjauhinya.

Farrel sibuk mengurus Papa dan Hanna. Papa yang sudah berkali-kali menyuruhnya menyusul, Hanna yang membutuhkan bantuannya. Hanna yang tiba-tiba datang, memperumit segalanya. Namun bukan berarti hadirnya Hanna merugikan. Hanya dengan melihat, Farrel tau apa yang akan terjadi pada gadis itu. Farrel juga tau, Hanna akan bersedia membantunya, menjelaskan pada Iva. Walau hal itu akan terjadi atau tidak.

Maka begitulah, pemikiran yang selalu berakhir dengan Iva.

Iva dan Iva, hingga Farrel tak bisa menutup mata. Seakan kantuk tak mampu menghentikan rasa bersalahnya. Memikirkan cara agar bisa bertemu, sampai cara konyol sekalipun. Berusaha merangkai kata saat memandang wajah gadis itu.

Hingga akhirnya, Farrel menghentikan mobil di depan rumah Iva. Tangannya berkeringat, gugup dan khawatir.

Ia mengecek ponsel, mendapati jam yang menunjukkan pukul 05.13 sebelum yakin turun dari mobil. Tangannya terkepal. Rasanya tak pantas, namun ia harus cepat menjelaskan agar masalah tak semakin melebar salah paham.

Tok tok tok

"Va, ini gue,"

Atau harapan Farrel sedikit memudar, menyadari Iva mungkin tak mau menemuinya.

Namun, saat tangannya memegang knop pintu, fakta bahwa Iva tak mengunci rumah sedikit membuatnya panik. Langsung saja, Farrel masuk sembari memanggil nama Iva.

"Va! Keluar!"

"Va! Iva!"

Belum juga mendapat sahutan, apalagi setelah Farrel menyusuri setiap sudut rumah. Hingga tanpa pikir panjang, Farrel masuk ke kamar Iva. Ia terkejut, setengah tak percaya melihat lemari baju terbuka lebar, dengan tempat kosong yang cukup banyak.

Namun, Iva tak mungkin melakukannya. Tolong, hentikan semua kemungkinan buruk yang bahkan tak bisa Farrel bayangkan.

"ARGH!"

Setelah memukul dinding begitu keras, Farrel mengacak rambutnya. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. Rasa marah yang menggila beradu bersama panik yang ketara. Ini buruk. Sangat buruk.

Tak mungkin, 'kan, Iva benci hingga memilih hilang dari hidupnya?

÷÷÷

Iva diam. Menghangatkan tangan yang menyentuh cangkir berisi coklat panas, memandang kosong warna putihnya. Ia duduk di kursi meja makan. Di dapur, sendirian tanpa teman.

Iva tak tau, apakah semua berjalan membaik atau malah semakin buruk. Karena nyatanya, Gavin masih tak ada kabar. Ditunggu pun, Iva mulai yakin ia takkan bisa tau tanpa mencari tau sendiri.

Lalu tentang Farrel dan Jack. Tentang kebenaran yang selama ini mereka sembunyikan. Rasa percaya yang mulai ia berikan, menguap begitu saja.

Atau tentang bagaimana caranya harus menanggapi, hal yang paling rumit saat ini. Ia masih belum mengerti, masih harus menghubungkan fakta lain yang terus bermunculan. Termasuk Kak Gia dan Gavin.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang