2.

51 35 9
                                    


Sinar matahari pagi masuk menembus jendela yang masih tertutup rapat terlapisi gorden berwarna putih susu. Menyebar menerangi ruang kamar yang cukup berantakan, mengusik laki laki yang tengah menikmati indahnya berkelana di alam mimpi.

Suara handphone menambah ketidakpulasan Farrel, memaksanya meraba mencari benda itu lalu menggesernya asal dengan mata yang masih terpejam.

"Farrel! Pulang!"

Seperti guyuran air yang menerpa wajah, mata Farrel langsung terbuka lebar dengan tangan yang refleks melempar handphone karena terkejut. Teriakan membahana milik sang ibu memang tak ada tandingannya, salah satu hal yang ia hindari setiap hari.

Farrel mengambil kembali handphone yang sempat ia lempar. Me-loudspeaker panggilan kemudian turun, membersihkan kekacauan yang entah bagaimana ia buat tadi malam. Selimut yang berada di depan pintu, sepatu di sebelah jendela, jaket hitam tebal di depan lemari dan masih banyak lagi benda benda yang berserakan di lantai.

"Farrel! Cepet pulang! Kamu dimana, sih?"

"Farrel di apartementnya Mba Nadin, Ma. Bentar lagi pulang,"

"Cepet! Banyak pertanyaan yang Mama tunggu jawabannya."

Tut.

Panggilan terputus.

Farrel berdecak sebal lalu menegakkan badannya. Ia berjalan keluar kamar dengan tangan kanan menggenggam jaket hitam tebal dan sepasang sepatu di tangan kiri.

Kakinya berjalan menuju kamar sebelah namun tak mendapati orang yang masih meringkuk tertidur atau membuka jendela ataupun semacamnya. Tak ada tanda kehidupan apapun disana. Mencoba berpikir positif, Farrel berjalan menuju dapur--siapa tau gadis itu tengah membuat sarapan untuknya. Ck. Pemikiran macam apa itu? Farrel geli sendiri memikirkannya.

Sesampainya di dapur, lagi, Farrel tak menemukan gadis itu. Malah, ia menemukan sepiring roti panggang dengan telur mata sapi sebagai isinya--menu sarapan pagi kesukaan Farrel--dan segelas susu putih yang masih terasa hangat saat ia sentuh. Disana tergeletak sepucuk kertas yang bertuliskan 'kamsahamnida' menggunakan huruf hangul memunculkan senyum tipis di bibirnya.

÷÷÷

Iva bergegas membersihkan diri bersiap pergi menuju sekolah. Tangannya meraih hoodie maroon--salah satu diantara dua hoodie yang ia punya--memakainya cepat lalu meraih tas gendong berwarna hitam polos, memakainya satu sisi pada sebelah kanan.

Merasa kamarnya terlalu gelap Iva menyempatkan membuka jendela kamar, membiarkan cahaya pagi dan udara segar masuk menikmatinya beberapa sekon.

Tangan kirinya meraih dasi panjang dan sepasang sepatu kemudian keluar, berjalan menuju dapur dan meletakkan benda yang ia genggam pada kursi meja makan. Gadis itu mengambil sehelai roti tawar, mengoleskan selai kacang lalu melahapnya cepat. Tangannya kembali bekerja melapisi kaki telanjangnya dengan sepasang kaos kaki dan sepatu yang ia bawa tadi.

Karena tak ada yang menyiapkan sarapan, tandanya sang bunda masih bekerja di rumah sakit, sangat sering lembur bahkan bermalam disana.

Iva berjalan keluar rumah. Ia mengambil sepeda di garasi kecil sebelah rumah, menaiki dan mengayuh menuju sekolah, tempat dimana banyak harapan untuk masa depannya.

Sebenarnya pagi ini adalah pengalaman pertama Iva bersiap terburu buru pergi ke sekolah, tentu karena kejadian tadi malam. Setelah bangun dari tidurnya, Iva bergegas pergi dari apartement itu. Mengambil hoodie dan memakai sneakers, membersihkan ruang kamar yang sedikit berantakan.

Akan tetapi sungguh tak pantas jika langsung pergi tanpa ucapan terima kasih pada orang yang telah menolongnya. Maka ia sempatkan membuat sarapan untuk sang penolong, juga sepucuk kertas yang bahkan ia tak tau sang penolong bisa membacanya atau tidak.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang