16.

20 15 2
                                    


Iva mengerjapkan matanya beradaptasi dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela yang masih tertutup tirai. Perlahan ia duduk kemudian menatap sekitar.

"Bentar, tadi malem.."

Iva menampar pipinya keras. Otaknya berfikir kemana mana dan tamparan itu adalah hukuman bagi otaknya. Terasa sakit, sih.

Tapi, kalau sakit berarti yang tadi malam cuma mimpi, dong?

Iva yang nangis sesegukan di pelukan Farrel cuma mimpi?

Gadis itu tersenyum malu. Masa sih ia bisa bermimpi sebagus dan seromantis itu? Ucapan Farrel juga menenangkannya perihal kotak hitam yang ia rahasiakan dari semua orang.

Kotak hitam?

Iva berdiri lalu duduk di meja belajar. Kenapa kotak itu berada di atas meja? Bukankah ia menyimpannya di lemari baju persis seperti mimpinya tadi malam?

Ah, dari pada memikirkan itu lebih baik ia bersiap menuju sekolah dan membuat sarapan bagi Ray dan Farrel yang masih tidur di rumahnya.

Gadis itu mengambil baju seragam lalu bergegas mandi membersihkan diri.

÷÷÷

Rambut kuncir kuda, seragam yang telah terpakai rapi dan sepatu tali hitam adalah tampilan yang Iva dapatkan saat bercermin di kaca. Rapi dan bersih seperti biasa.

Gadis itu mengambil tas yang tergeletak di kursi belajar. Berjalan keluar menyempatkan memeriksa kamar Gavin apakah Ray sudah terbangun atau belum.

Mungkin udah di luar kali, ya.

Kamar Gavin terlihat rapi seakan tak ada orang yang menempati tadi malam. Jendelanya juga terbuka lebar, mampu membuat Iva menikmati udara pagi segar barang sedetik saja. Sedetik karena di detik berikutnya secarik kertas di atas bantal menarik perhatiannya.

Gue ada urusan, Va. Maaf nggak bisa ngomong langsung.
By3"

Tulisan tangan Ray rapi dan sangat mudah di baca. Berbanding terbalik dengan tulisan tangan Jack yang mencoba serapi apapun masih saja sulit dibaca. Jack-nya saja yang nggak niat nulis.

Duh, jadi ngomongin keburukan orang lain, deh.

Iva melipat kertas itu lalu di simpan di balik bantal. Berarti tersisa satu orang yang butuh di buatkan sarapan. Farrel, si penggila roti panggangnya itu.

Iva berjalan menuju dapur. Matanya sempat melihat Farrel yang tertidur di sofa ruang keluarga, duduk dengan kepala yang menengadah. Iva yang melihat saja merasa tidak nyaman, apalagi Farrel.

Sampai di dapur, Iva mengambil satu pasang roti tawar yang telah di olesi pasta coklat, ia panggang beberapa menit. Sembari menunggu ia mengolesi satu pasang yang lain dengan selai kacang, kesukaannya.

Terdengar seseorang yang menarik kursi meja makan.

"Morning," sapa Farrel.

"Morning," balasnya lembut. Tangannya meraih satu piring putih lalu meletakkan roti panggang milik Farrel. Ia letakkan di depan Farrel yang masih setengah tertidur. Terlihat lucu dengan rambut berantakan dan pipi yang sedikit membengkak.

"Cuci muka dulu sana, jorok."

Farrel cemberut. Matanya yang belum sepenuhnya terbuka itu menatap Iva sebal.

"Tapi masih ganteng kan?" ucapnya bangga.

Iva berdehem malas. Ia tengah membuat segelas susu hangat untuk Farrel saat ini. Sedikit tak habis pikir dengan Farrel yang membasuh muka dengan air wastafel dapur, namun memaklumi karena mungkin Farrel mempunyai kebiasaan jorok seperti itu. Namanya juga cowok. 'Kalau yang deket ada, kenapa harus cari yang jauh?'

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang