33.

2 0 0
                                    


Iva tak tau, ada di situasi bagaimana dirinya berada. Lebih ke merasa kagum, sih. Takjub melihat pemandangan luar biasa ini.

Bunda Maya duduk di sofa tunggal, membaca majalah kesehatan. Kak Gia duduk sila di atas karpet, terlihat sangat nyaman menonton showcase oppa-nya. Kali ini beralih melihat Ray, yang duduk manis dengan permen jelly dan ponsel, bermain game.

Setelah mengabsen satu-persatu orang yang sama-sama diam dengan televisi menyala ini, Iva menatap dirinya sendiri. Ia duduk di sofa, menyila, bersebelahan dengan Ray dan tak melakukan apa-apa. Hanya ada remote tv di satu tangannya.

Iva ingat, janji yang baru mereka ikrarkan beberapa menit lalu. Mereka--Iva, Bunda Maya, Kak Gia dan Ray--berjanji untuk tak terlalu membebankan pikiran atas apa yang terjadi beberapa hari ini. Benar, sih. Tapi tetap saja terlihat aneh bagi Iva.

Posisinya seperti tak mempunyai masalah sama sekali. Sekedar menginap di satu tempat yang sama (Ray ikut-ikutan menginap) dengan dunianya masing-masing.

Di keheningan yang Iva rasakan, ia jadi memikirkan mengapa situasi ini bisa terjadi.

Gavin yang mempertemukannya dengan Kak Gia. Gavin juga yang membuat ia dan Ray sama-sama tau hubungan darah yang mengikat mereka.

Gavin banyak andil di sini, ternyata. Pasti sangat menyenangkan kalau Gavin bisa ikut di tengah-tengah mereka.

Namun, kembali mengingat bagaimana keadaan Gavin sekarang, mengingat pula keadaannya sekarang, Iva pikir ini akan semakin sulit. Apa yang selama ini ia harapkan, pupus begitu saja. Nekat menyusul Gavin pun tak 'kan bisa karena ia tak punya uang.

Iva jadi memikirkan tentang usulan spontannya beberapa hari lalu. Kak Gia yang boleh pergi menyusul Gavin terlebih dahulu, meninggalkannya dengan Bunda yang bisa menyusul kapan-kapan. Ia sempat membicarakannya setelah Kak Gia pulang sekolah tadi. Namun, Kak Gia tak menanggapi lebih. Mungkin Kak Gia masih ragu, atau malah segan kepadanya dan Bunda.

Semakin memikirkannya, semakin membuat Iva bingung saja. Seperti solusinya entah kapan bisa datang, hingga hanya menangis yang bisa dilakukan.

Namun kali ini, Iva bukan ingin menangis. Juga, rasanya melelahkan sering menitikkan air mata beberapa waktu ini. Yang bisa Iva lakukan sekarang, hanya menghembuskan napas panjang.

Tubuhnya condong ke kanan, menempel pada Ray. Sekalian saja, Iva bersandar pada bahu adiknya itu.

Ray mungkin terganggu. Iva ketahui dengan mendaratnya ponsel di meja kaca persegi di depan mereka. Alih-alih marah, Ray mempertemukan dagu pada puncak kepala Iva. Setidaknya mampu membuat Iva merasa lebih baik atas rasa bingung yang sedang melanda. Apalagi, mendapatkan satu permen jelly disodorkan di depan mulut, senyum Iva melebar begitu saja.

Gadis itu membuka mulut, merasakan sensasi bagaimana disuapi adik ganteng untuk pertama kali. Iya, adiknya itu ganteng. Senyumnya manis, menular. Mungkin karena suka makanan manis seperti permen jelly dan lolipop.

Bersandar di bahu Ray, tak menampik perasaan ingin tau Iva bagaimana rasanya berdekatan dengan Papa. Apalagi Ray bilang, adiknya itu mirip Papa.

Walaupun mungkin, Papa sangat marah padanya saat ini. Ray jadi suka bertemu dengannya, telah mengetahui apa yang selama ini disembunyikan. Bisa saja Papa berpikir, membuat rencana penyerangan Iva kembali adalah pilihan terbaik saat ini. Bisa dibilang, Iva, Bunda Maya, Ray bahkan Kak Gia berada dalam bahaya.

Ray mengambil alih remote di tangan Iva. Mengganti channel tv, mencari siaran menarik yang bisa ditonton. Iva tak ikut melihat siaran apa yang mungkin bisa menarik perhatiannya. Karena satu tangan Ray lain yang bebas, sudah lebih dulu membuatnya senang.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang