Seharian penuh, Iva sama sekali tak memperhatikan pelajaran. Sangat muak, hingga menyentuh buku pun enggan. Menatap tajam penuh kebencian ke depan, mengepalkan tangan. Jack sendiri yang duduk disampingnya, hanya mampu mengelus punggung tangan Iva sesekali. Berusaha menenangkan.Namun, kesalnya Iva masih bertahan bahkan sampai keluar gerbang. Apa lagi, melihat orang yang tiba-tiba menghalangi langkahnya.
Gadis itu menyerngit. "R-ray?"
Namun, Ray menanggapinya dengan menarik Iva keluar. Berjalan beberapa meter menjauhi gerbang.
Iva melepaskan cekalan, menatap Ray tak suka. "Apaan, sih?"
Hari ini itu, mood Iva sedang buruk. Mudah kesal dan marah, setelah mendengar ia tak bisa mengikuti program pertukaran pelajar itu. Namun, karena Ray tak tau apa-apa, ia harus berusaha sabar.
"Kenapa, Ray? Mau kemana?"
Iva bisa melihat ada binar bingung dalam mata Ray. Namun, Ray menjawab pertanyaannya dengan tegas. "Ketemu bokap."
Iva lantas menyerngit. "G-gue ngapain ketemu bokap lo?"
"Karena dia juga bokap lo,"
Iva mengedip, tak percaya. "Apaan, sih? Nggak usah bercanda. Gue harus pergi,"
Ray kesal, berdecak. "Lo anak Mama Ratna dan Papa Mahendra. Nggak ada yang bercanda."
Emosi Iva muncul mendengar nama ibu kandungnya disebut. "Tau darimana lo soal Mama?"
Kali ini, Ray mengacak rambutnya frustasi. "Ya karena dia nyokap gue, gue bisa tau lah,"
Tangan Iva terangkat, meninju lengan Ray. "Apaan, sih, lo? Dateng-dateng ngomong nggak jelas gini. Ngelantur, ya, lo?!"
Helaan napas panjang terdengar. Kesal dengan Iva yang ternyata sekeras kepala ini.
"Gue adek lo!"
Iva mencoba mencari kebohongan dari mata Ray, yang berakhir gagal. Lalu, ada yang menggetarkan hatinya. Iva bisa merasakan ada sesuatu yang mengalir menuruni pipinya.
Melihat Iva menangis, Ray panik. Apalagi, masih banyak siswa disekitarnya, mengingat ini adalah jam pulang sekolah. Buru-buru ia menarik Iva dalam pelukan.
"Jangan nangis, dong. Gue dikira ngapa-ngapain lo nanti,"
Setelah lengan, dada Ray yang selanjutnya mendapat pukulan dari Iva. "Salah siapa?! Lo yang tiba-tiba dateng dan bicara kayak gini!"
Iva mendengus disela-sela tangisan. "Lagian, adik apaan?" Intonasinya mulai menurun, seperti biasa walau nada kesalnya terdengar jelas. "Gue punya adik yang sepantaran gini? Bego, ya, lo?"
Iva meringis mendapati jitakan ringan yang Ray berikan. Ray yang sudah tak tahan mendapat penolakan. "Gue lebih muda setahun dari lo, Kakak Tua,"
Iva menghentikan isakan, menghapus air matanya kasar. "Njir, Kakak Tua, gue bukan burung, kali,"
Ray sebenarnya ingin membalas dengan perkataan ambigu, yang pasti bisa membuat Iva malu, namun diurungkan karena tak mau dipukul lagi.
Tapi ternyata, Iva masih melontarkan kalimat kesalnya. "Lagian, adik macam apa yang mukanya aja nggak mirip sama sekali,"
Ray menyerah. Melepas pelukan, menunduk, menatap Kakak Tua-nya. Panggilan yang terucap tak sengaja itu, akan ia nobatkan official untuk panggilan selamanya.
"Muka lo mirip Mama, gue Papa,"
Iva mendongak, menatap mata Ray, penasaran. "Oh, ya?"
Ray mengangguk. Ia meringis, mendapati Kakak Tua-nya kembali menangis. Buru-buru air matanya ia hapus. "Cengeng juga, lo,"
![](https://img.wattpad.com/cover/209837913-288-k427192.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...