Iva melangkah berjalan menuju ruang kelasnya berada. Matanya lurus ke depan mengabaikan beberapa siswa yang mengejeknya karena terlalu acuh terhadap keadaan.Iva duduk di bangku miliknya, paling pojok belakang, sendirian. Tak ada siswa yang mau berteman dengannya karena terlalu tertutup dan Iva harap itu akan terjadi hingga masa sekolahnya berakhir.
Mengeluarkan handphone dari saku bajunya, membuka memo, mulai mengetik sesuatu disana. Sebaris kalimat tertuang sesuai isi hatinya memotivasi untuk tak menyerah dan selalu mencerahkan harinya, seperti biasa. Kali ini Iva bertanya.
Vin, ini hari ke 91. Dan lagi, gue kecewa karena lo nggak ada di depan pintu pagi tadi. Gue kangen digangguin lagi sama lo. Lo kangen gue, nggak?
Meletakkan handphone, Iva membaringkan kepalanya, menutup mata menikmati lagu yang terputar indah ditelinga. Mencoba lebih bersabar akan semua yang terjadi dihidupnya.
Lima belas menit kemudian bel berbunyi nyaring mengharuskan semua siswa duduk diam menanti sang guru yang akan memberi ilmu. Melepas headset dan hoodie, Iva duduk menghadap depan, berdoa dalam hati semoga hari ini lancar tak ada gangguan baik didalam kelas maupun diluar kelas.
Namun sepertinya laki laki yang datang bersama guru mapel bahasa Indonesia di depan akan menjadi gangguannya hari ini.
Iva menatap malas laki laki yang berdiri didepan kelas. Tangannya memegang sebuah bolpoint, membuka buku lembar terakhir lalu menulis abstrak disana.
"Perkenalkan nama saya Jack Bratadikara. Saya lahir disini tapi pindah ke luar negeri dan sekolah disana. Karena suatu hal saya pindah lagi kesini dan melanjutkan sekolah disini. Mohon bantuannya teman teman." Jack melihat setiap inci ruang kelas kemudian memperhatikan seorang gadis yang sama sekali tak memandangnya--bukannya sombong, namun seluruh siswi di kelas itu berteriak histeris mengagumi ketampanannya.
"Jack, silahkan cari tempat duduk ya. Banyak kursi kosong di belakang." Sang guru memandang anak muridnya sekilas, duduk dimejanya lalu membuka buku. "Sekarang kita mulai pelajarannya."
"Hai, nama gue Jack." berbisik, Jack menjulurkan tangannya kepada Iva.
Melirik sekilas, Iva memperhatikan kembali penjelasan guru didepannya tanpa meraih uluran tangan Jack.
"Gue cuman mau kenalan sama lo. Nggak boleh?" Jack masih setia menjulurkan tangannya, plus senyum dibibirnya.
Satu menit.
"Gue nggak bakal turunin tangan gue, lho."
Iva tersenyum miring lebih mengetatkan bolpoint pada tangannya, sangat tertarik dengan tawaran Jack.
Meringis, Jack menurunkan tangannya. Matanya menatap Iva mencoba memahami karakternya. Dan satu yang ia dapat, pendiam.
Menghembuskan napas pasrah, tangannya meraih bolpoint dan memainkannya, mendengarkan penjelasan guru dengan mata yang sesekali melirik Iva.
÷÷÷
"Lo mau ke kantin, kan? Gue ikut boleh dong. Gue belum hapal semua ruangan di sekolah ini."
Mengabaikan Jack, Iva terus melangkah dengan bola mata yang sesekali mengamati area sekitar, mengantisipasi kedatangan orang yang sering mengganggunya. Berhubung jam istirahat banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Batu berjalan-julukan Iva di sekolah-berdampingan dengan Jack-siswa baru yang terkenal pindahan luar negeri-adalah suatu hal mustahil yang membuat siapa saja menganga keheranan.
Memang tak ada siswa lain selain batu berjalan itu untuk berteman dengan siswa pindahan?
Setelah berjalan tiga menit ke arah kantin Iva menangkap tiga sosok wanita yang setiap hari mengganggunya. Menghadang didepannya, Iva memandang datar ke arah mereka.
"Mau ke kantin? Tumben. Biasanya ngumpet ngehindarin gue." Kedua antek antek Sherly tertawa meremehkan.
"Pacar baru, hah?" Berhenti sejenak, Sherly berjalan mendekati Iva. "Setelah Gavin nggak ada, lo nyari pacar lagi?"
Didepan mata, Sherly menyentuh rambutnya menariknya keras--seperti biasa. "Dasar wanita murahan."
Iva diam masih memandang datar sang pelaku. Matanya memicing mendapat Jack yang menunjukkan mimik wajah kesal dengan apa yang Sherly lakukan. Saat matanya melihat pergerakan tangan Jack yang akan menolongnya, dengan gesit tangannya menahan. Ditengah rasa sakit menerima sepenuh hati apa yang Sherly berikan, Iva berbisik, "Diam di belakang saya."
Enak saja. Demi apa seorang Jack membiarkan sesama perempuan saling menyakiti? Salah. Seorang perempuan menyakiti teman satu gendernya. Untuk apa?
Memandang Sherly benci, Jack melangkahkan kakinya bergerak mende..-
"Diam di belakang saya."
Terdengar lebih dingin dari sebelumnya, akhirnya Jack menurut diam di belakang punggung Iva layaknya pengecut. Yang benar saja? Jack bertaruh jika bukan di area sekolah, tangannya tak akan segan memelintir gadis yang sedang menjambak Iva ini. Biar semua orang menyebutnya pecundang. Biarkan saja. Asal tak ada pertumpahan darah Jack selalu siap. Jack benci sesama perempuan yang saling menyakiti.
"Gue kasian deh sama Gavin. Harusnya dia tuh sama gue! Bukan sama lo yang suka gonta ganti pacar tau nggak!" Melepas jambakannya, Sherly menepuk nepuk tangannya seakan jijik telah menyentuh Iva. "Lo tunggu aja. Kalau Gavin pulang, dia pasti milik gue."
Berjalan melewati Iva--tentu lengannya menyenggol lengan Iva--meninggalkan Iva yang terdiam, memikirkan apa yang Sherly pikirkan. Bukan. Iva tak pernah takut pada Sherly, sekalipun akan merebut Gavin darinya. Bahkan ia seratus persen yakin Gavin tak akan pernah meninggalkannya.
Kalau Gavin pulang. Kalau. Hatinya teriris mendengar penuturan Sherly yang menurutnya berbicara mengenai Gavin yang tak akan pulang. Gavin.. pasti akan pulang.
Berbalik, sedikit terkejut melihat Jack yang terjingkat melihatnya berbalik tiba tiba. Matanya berkedip kedip--Jack, mungkin menunggunya mengatakan sesuatu.
Iva memandang mata Jack selama lima detik. Kemudian kakinya melangkah, namun terhenti saat tangan Jack menahannya.
"Nggak jadi ke kantin?"
Tanpa berbalik Iva berucap. "Saya nggak pernah bilang saya mau ke kantin." Langkahnya kembali terhenti setelah mendengar pernyataan Jack.
"Terus kenapa lo jalan ke arah kantin?"
"Saya masih punya hati untuk ngasih petunjuk sama orang yang nggak tau jalan."
"Emang lo mau kemana? Ck. Gue bingung mau manggil lo apa. Kenalan dulu emang nggak boleh, ya?"
Namun tak ada yang merespon karena Iva telah kembali berjalan, tanpa menolehkan kepalanya atau mendengar ucapan Jack sekalipun.
Sekarang Jack tau Iva bukan hanya pendiam. Gadis itu tertutup namun masih memiliki hati walau sepertinya membeku.
÷÷÷÷÷÷÷
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...