Setelah menyimpan sepeda, Iva bergegas memasuki rumah lalu berjalan menuju kamar hendak mengganti baju dan sebagainya. Tetapi baru meletakkan tas di atas kasur, sebuah suara aneh membuat hatinya berdetak lebih cepat. Seperti biasa Bunda sedang tak ada di rumah. Sangat mustahil bagi Maya berada di rumah siang hari, hari Minggu sekalipun.Apakah ada maling di siang hari begini?
Ah, Iva tak boleh berpikir negatif dulu seperti ini. Mungkin saja Maya sedang memberinya kejutan, bukan?
Kakinya melangkah keluar--mengendap endap--bersembunyi disetiap sudut hingga suara itu kembali terdengar. Jika tak salah perkiraan, sepertinya suara itu berasal dari dapur rumahnya. Seperti suara mencari sesuatu, tak berhati hati hingga menciptakan suara gaduh.
Untuk apa.. maling berkeliaran di dapur? Tak ada barang berharga disana.
Berusaha memberanikan diri Iva kembali berjalan hingga mendapati sosok tinggi besar sedang mengacak acak isi kulkas hingga berceceran di lantai. Berpakaian serba putih dan sangat tertutup--hampir saja Iva berteriak kaget mengira itu hantu atau semacamnya. Jujur, Iva takut.
Tangannya yang gemetaran berusaha mengambil handphone dari saku hoodie. Yang penting ia harus menelepon orang lain, siapapun itu.
"Akh!"
Menutup mulutnya, Iva sungguh merutuki dirinya sendiri karena terlalu takut melihat apa yang sosok itu lakukan. Lagian, mengapa sosok itu tiba tiba membalikkan tubuhnya? Wajahnya.. sangat menyeramkan walau hanya terlihat matanya saja. Alisnya tebal dan tajam, matanya lebar terkesan seperti melotot, dan rambutnya panjang berantakan.
Mengeratkan tangannya yang sedang menggenggam handphone, Iva memposisikan tubuhnya agar lebih tak terlihat bersembunyi di balik rak buku besar, sekat antara dapur dan ruang keluarga. Entah seberapa cepat jantungnya berdetak saat bayangan sosok itu mendekat ke arahnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya berdoa semoga semuanya baik baik saja.
Sayangnya sosok itu berhasil menemukan persembunyiannya. Tangannya terangkat kemudian mengepal, bersiap mengaplikasikannya pada gadis didepannya. Iva menahan napas panjang. Tangan mulai bergetar ketakutan, mulut tak dapat bersuara meminta pertolongan.
Bugh!
Kepalan tangan itu tak dapat membuat Iva meringis kesakitan karena Iva berhasil ditarik satu langkah ke samping oleh cowok berparas tampan didepannya. Tangan cowok itu bertumpu pada dinding, memberi halangan bagi maling yang tadi akan melukai Iva walau sedikit terkesan seperti mengurung Iva dihadapannya.
Mata mereka seketika bertemu. Entah bagaimana bisa Iva tenggelam pada manik hitam itu. Cowok didepannya juga mengaku, tak dapat lepas dari mata indah Iva.
Beruntung Farrel cepat tersadar bahwa mereka dalam bahaya. Tubuhnya berbalik dan menemukan kepalan tangan yang hampir mengenai wajahnya. Farrel sigap mencekal tangan itu dan melayangkan pukulan pada area perut. Sosok serba putih itu tersungkur meringis kesakitan. Segera berdiri, maling itu berlari keluar melalui jendela besar dapur diikuti Farrel yang mengejarnya. Disana, sendirian, Iva perlahan duduk dan berusaha menetralkan detak jantungnya. Anehnya, detak jantung Iva malah bertambah cepat setelah Iva menunggu satu menit lamanya.
Sepasang kaki yang tiba didepannya membuatnya mendongak, kemudian tangannya terulur membantu Iva berdiri. Setelah Iva berdiri, sebuah pelukan erat menyapa tubuhnya.
"Lo nggak papa, kan? Ada yang luka, nggak?"
Iva tersenyum tipis saat detak jantungnya perlahan berdetak normal.
"Nggak papa." jawabnya lalu membalas pelukan Farrel.
Tiga menit berlalu.
Agaknya Iva telah merasa nyaman hingga tak mempedulikan waktu. Ia berjalan mundur satu langkah, melepas pelukan dan memberi jarak dengan Farrel. Matanya mendongak memandang wajah Farrel yang terlihat memerah. Tangannya terulur mengenggam Farrel agar duduk di meja makan. Walau masih sedikit gemetar, tangannya menuangkan dua gelas air putih untuk dirinya dan Farrel. Satu tegukan mengalir menghilangkan rasa takutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Novela Juvenil[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...