Iva berjalan menuju halte menunggu bus yang mengantarnya menuju cafe. Beberapa kali Iva memohon pada Maya agar memperbolehkannya memakai sepeda sebagai kendaraan pengantarnya, berkali kali juga Maya menolak. Cafe tutup pukul 22.00 dan Maya tak mau sesuatu terjadi pada Iva jika pulang sendirian di bahayanya kondisi malam hari.Sama seperti penampilannya sehari hari Iva memakai hoodie maroon dan celana hitam panjang, juga headset di telinga. Tak berubah setiap harinya--terkecuali hoodie yang bergantian hitam dan maroon.
Kakinya berjalan ringan, memperhatikan jalan raya yang ramai kapanpun waktunya, termasuk saat ini 14.35.
Berjalan melewati halte, gadis itu menyebrang jalan masuk ke dalam minimarket membeli sebotol minuman dingin untuk melepas dahaga yang tiba tiba datang. Tangannya meraih dua bungkus lolipop kuning, membukanya kemudian memasukkan ke dalam mulut meski beberapa detik yang lalu minuman coklat mengalir melalui tenggorokannya.
Keluar dari minimarket, hampir saja ia berteriak ketakutan mendapati seseorang yang tiba tiba menggenggam lengannya. Jadi setelah melihat siapa pelakunya ia melepas cekalan itu, memandang tajam orang di depannya.
"S.. sorry."
"G.. gue.. " Menggeleng, "Lo mau ke cafe, kan? Bareng aja, gue juga mau ke sana."
Masih memandang datar, Iva menatap pergerakan tangan Farrel yang menggaruk tengkuknya yang ia yakini tak gatal sama sekali. "Yuk," Kembali menggenggam lengan Iva, kakinya tak kunjung melangkah karena Iva masih berdiam diri ditempatnya.
"Saya bisa pergi sendiri." Melepan cekalan lengannya-lagi, Iva berlari melihat bus yang mendatangi halte di seberang minimarket.
Tin!
Tin tin!
Menoleh, Iva mendapati sebuah mobil hitam melaju cepat menghampirinya. Ia berniat berlari menghindari, namun kakinya tak mau bekerjasama sama sekali. Terasa terpaku dengan mata yang bergerak gelisah. Keringat dingin mulai turun membasahi wajahnya juga bahu yang mulai bergetar ketakutan. Banyak orang yang berteriak memperingati dan itu menambah ketakutan di hati Iva. Perlahan mata Iva terpejam dengan sendirinya.
Aneh.
Mata Iva terbuka perlahan karena tak merasakan tubuhnya yang bergesekkan dengan aspal, atau teriakan para warga yang memanggil ambulans. Menahan napas--plus membuka mulutnya--Iva memandang mata Farrel yang tengah memeluknya. B.. bagaimana mungkin, ia bisa berada dipelukan Farrel?
"Ada yang luka nggak?" Tersirat nada kekhawatiran. Farrel melepas pelukan itu, meneliti keadaan tubuh Iva.
"K.. kok b.. bisa?" Tergagap, Iva masih belum paham atas apa yang baru saja terjadi.
"Kenapa lo diem ditengah jalan, hah?! Kalo gue nggak narik lo, sekarang lo udah di IGD tau nggak?"
Berusaha menormalkan detak jantungnya, Iva memandang Farrel yang menatapnya khawatir. "Anterin saya ke cafe. Saya hampir telat." ucapnya walau suaranya terdengar bergetar. Ia berjalan menuju mobil Farrel yang terparkir disamping minimarket meninggalkan Farrel yang membuka mulutnya tak percaya.
Dia.. ngomong.. apa?
Farrel menahan tangan Iva yang hendak membuka pintu mobil. "Lo nggak boleh kayak gini."
Iva mendengarkan.
"Lo nggak takut?"
Mata Iva mulai berkaca kaca. Ia berusaha bertahan agar tidak terlihat lemah di mata orang lain.
Farrel memegang pundak Iva menuntunnya berbalik menatap matanya. Ia merengkuh Iva dalam pelukannya. "Tenangin hati lo, luapin rasa takut lo,"
Iva diam. Ia belum membalas pelukan yang Farrel berikan.
"Dengerin gue. Lo boleh bertindak sesuai rencana lo, lo boleh nggak peduli sama apapun di sekitar lo. Tapi untuk sesuatu yang nggak lo duga kayak gini, lo boleh luapin emosi lo.. boleh ngelakuin hal yang jarang lo lakuin sebelumnya."
Iva menggigit bibir bawahnya kuat. Pada akhirnya ia menyerah dan air mata mengalir membasahi pipinya. Tubuhnya terasa melemas dan beruntung Farrel bisa menjadi tumpuannya. Tangan Iva terangkat membalas pelukan yang Farrel berikan. Untuk pertama kalinya Iva merasa nyaman di posisi ini, posisi dimana sebelumnya hanya Maya dan Gavin yang memberikan pelukan hangat padanya.
÷÷÷
Farrel memandang Iva yang menundukkan kepala. Ia menggenggam tangan kanan Iva yang bergerak gelisah. "Kalo lo nggak bisa kerja, nggak usah dipaksain. Mba Nadin pasti ngerti kok,"
Iva tersentak. Ia memandang sekeliling kemudian tersadar mereka telah sampai di depan cafe.
"Va,"
Iva beralih memandang Farrel. Ia juga baru sadar tangannya tergenggam erat bersama tangan Farrel.
Farrel tersenyum. Ia yakin Iva tak mendengar ucapannya tadi. "Lo bisa cuti kalo lo nggak bisa kerja, Mba Nadin orangnya pengertian kok,"
Iva melepas genggaman itu. "S.. saya masih bisa kerja," Kemudian Iva keluar meninggalkan Farrel yang menghembuskan napas kesal.
Farrel mencekal tangan Iva. "Eits. Tunggu dulu."
Farrel tersenyum miring. "Tadi nggak gratis. Gue butuh balasan karena udah nolongin lo."
Mengedipkan mata berusaha percaya, Iva menghembuskan napas sebal. Tadi seperti malaikat, sekarang.. kenapa bisa berubah secepat ini? "Berapa? Seratus ribu? Sejuta? Satu milyar? Atau bahkan satu triliun?"
Menggeleng, Farrel menarik Iva menuju dapur. "Buatin gue roti panggang." ucapnya diakhiri senyuman manis.
Dan Iva terkekeh seketika, membuat Farrel melongo melihat cantiknya cara Iva tertawa. "Lo.. cantik." aku Farrel lirih.
"H..hah? Kamu ngomong apa?"
"Hmm? Nggak. Gue nggak ngomong apa apa."
Keduanya dikejutkan dengan suara aneh yang berasal entah darimana.
Kemudian Farrel tertawa, mengusap perutnya. "Cepet buatin. Laper."
Mendengus, Iva mengambil bahan bahan dari kulkas, mulai membuat apa yang Farrel inginkan. "Kalo kamu udah laper banget, ambil aja nasi goreng di meja." Kepalanya melihat nasi goreng yang tergeletak di meja, hasil masakan chef untuk pelanggan. "Lagian chefnya nggak akan marah. Kamu 'kan adiknya Mba Nadin."
"Nggak usah. Gue kangen sama roti panggang buatan lo. Roti terenak yang pernah gue makan." Lalu Farrel mendekat, memperhatikan bagaimana langkah langkah yang Iva lakukan. "Emang rahasianya apa sih, bisa buat roti seenak itu?"
Iva membalikkan roti panggangnya, kemudian menjawab. "Nggak ada rahasianya. Cuma, nggak ada yang bisa bikin roti panggang sama persis sama buatan saya. Karena tangan masing masing orang itu berbeda."
Menyerahkan seporsi roti panggang pada Farrel yang disambut gembira, Iva menautkan alisnya ketika menyadari sesuatu pada Farrel. "Kamu dapet permen itu darimana?" Benar. Permen lolipop kuning sama persis seperti miliknya tadi yang hilang entah kemana setelah hampir tertabrak, kini tergeletak di piring tempat roti panggang milik Farrel. Jangan bilang...
"Permen? Punya lo yang tadi jatuh waktu gue nolongin lo." Farrel menggigit roti panggang buatan Iva. "Waktu pelukan, lo kan sempet buka mulut, untung aja tangan gue sigap buat nangkep."
"Permennya kamu makan?"
"Enggak lah. Kan punya lo."
Menggigit bibir bawahnya, Iva memperhatikan wajah Farrel yang sangat menikmati roti panggang buatannya. Tangannya bergerak naik mengambil permen itu--memakannya kembali--lalu merogoh saku celananya, menaruh permen yang sama-masih terbungkus-diatas piring Farrel.
Gomawo.
Dan Iva tersenyum tipis tanpa siapapun sadari, mengamati wajah Farrel penuh tanya. Farrel itu orangnya seperti apa, sih? Apakah ia tak mengambil jalan yang salah jika ingin berteman dengan Farrel?
÷÷÷÷÷÷÷
To Be Continued
Gomawo = terima kasih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Jugendliteratur[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...