21.

9 5 0
                                    


Lebam dimana mana. Darah juga masih mengalir di beberapa sudut bibir atau pelipis mereka. Perih semakin terasa akibat tetesan hujan yang seakan tau bagaimana memperburuk suasana. Gelap dan amarah bersisian, membentuk panggung tersendiri bagi dua insan yang lupa bagaimana meredam emosi kepala.

Dua duanya hampir tumbang. Kehabisan napas dan tenaga, melupakan fakta bahwa yang mereka lakukan sia sia.

"Lo pikir Iva mau maafin lo, gitu?" tanya Jack pelan, menatap sayu Farrel yang mencengkeram perut akibat pukulan kerasnya.

Farrel menguatkan kakinya agar sanggup menopang tubuh lelahnya. "Lo nggak perlu ikut campur," timpalnya lirih.

Jack berdecak. Ia lap kasar darah yang mengalir di sudut bibirnya. "Gue berhak, karena pengecut kayak lo nggak pantes ada di depan Iva."

Amarah Farrel kembali naik. Tangannya telah mengepal untuk menghajar lawan di depannya lagi. Ia tunggu beberapa detik, siapa tau Jack mau berucap lebih 'baik' ketimbang mendapat pukulan kuatnya. Jack tak tau saja, ini adalah pukulan terkuat yang belum ia layangkan.

Ia tentu tersinggung. Perkataan Jack terdengar seperti apa yang ia lakukan tak ada gunanya.

"Iva nggak seharusnya ketemu pengecut kaya lo."

Bugh!

Melayang mengenai perut Jack hingga tersungkur kesakitan. Jack yang tak siaga terkena sepenuhnya pukulan yang Farrel beri.

Nyatanya Farrel tak berhenti. Cowok itu menghajarnya tanpa henti bak orang kesetanan.

"Bangs*t!"

Jack berdiri gesit. Segera saja ia balas pukulan kuat Farrel. Yang kali ini perkelahian mereka lebih serius sepertinya. Sama sama yakin atas pukulan keras yang diberikan, sama sama di kuasai emosi kemarahan.

"Berhenti atau jangan ketemu gue lagi!"

Tiba tiba diam. Menghentikan perkelahian, mempersilahkan bunyi rintik hujan menjadi satu satunya suara di indra pendengaran.

Iva ingin menangis rasanya. Benar benar menangis atas perkelahian yang ia lihat di depan mata.

"Kuat jalan, nggak?!" tanyanya keras. Ia menahan untuk tak menampar pipi kedua cowok di depannya.

Jack dan Farrel memandangnya datar.

Sial. Kalau saja dua orang ini bukan temannya, ia takkan rela hujan hujanan seperti ini.

Va, lo beli buah buahan di ruko deket lapangan, ya. Stok mau habis. Banyak olahan yang butuh buah soalnya.

Ia merutuki salah satu karyawan yang juga bekerja di tempat yang sama. Sudah hujan, belanjaan banyak, terus di ganggu dua curut ini lagi. Lihat bagaimana menyedihkan barang belanjaannya. Jatuh berserakan di atas rumput, juga payung yang tadinya melindungi dari tetesan hujan.

"Kuat jalan, nggak?!" tanyanya lebih keras. Jack dan Farrel mengedip sebentar. Farrel menengadah sedangkan Jack mengacak rambut asal.

Bagaimana bisa Iva ada di sini, coba?

Iva kesal. Marah dan ingin menangis juga. Ia menghembuskan napas mencoba sabar lalu menggenggam tangan Jack dan Farrel. Ia tarik ke depan warung kopi tutup dekat lapangan.

Dasar. Ia yang hanya sekilas menggenggam tangan keduanya saja merasakan dingin yang luar biasa. Berapa lama mereka hujan hujanan, coba?

"Tunggu di sini." Titah Iva tajam lalu berlari menembus hujan. Ia kembali ke tempat dimana ia membeli buah buahan, mengambil dua botol minuman dan satu bungkus tisu lalu kembali ke depan warung kopi.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang