25.

3 2 0
                                    


Tiga manusia itu saling mengabaikan. Masing-masing sibuk, seakan hanya ada dia di mobil yang tengah bergerak ini. Jack mengemudikan mobil dengan tatapan tajam. Tangannya masih gatal menghajar orang.

Iva duduk di belakang, bersama Farrel di samping kanan. Kepalanya menoleh menatap lekat gelap gulita tengah malam. Benar-benar gelap, persis dengan keadaan hatinya. Di luar lebih menarik daripada bunyi deru mesin mobil.

Yang terakhir, cowok dengan kaos hitam dan rambut berantakan sibuk mengepalkan tangan. Tubuhnya ia sandarkan. Napasnya sesekali berhembus gusar.

Mobil berhenti. Farrel berlalu keluar, berjalan meninggalkan Iva yang baru menapakkan satu kaki. Gadis itu sedikit terlonjak saat mobil Jack melesat cepat, menjauhi tempatnya berdiri. Di depan sana, sudah cukup jauh, Farrel berjalan dengan langkah lebar.

"Farrel!" ucapnya lantang, terdengar putus asa.

Tiga meter di depannya Farrel berhenti. Iva tersenyum begitu tipis. Ada sayatan luka yang baru tergores, menatap nanar sosok di depan. Jarak di antaranya terasa begitu jauh, hingga Iva ragu apa dia mampu melewatinya. Iva butuh pelukan Farrel, pelukan nyaman yang bisa menenangkannya. Beberapa jam yang lalu, ada luka besar yang dihasilkan.

Iva berkedip. Sadar Farrel belum beranjak dari sana.

"Tungguin gue, dong!"

Gadis itu berlari. Ada tetes air mata yang turun di sela-selanya.

"Gue ... capek, tau!" adunya, dengan air mata yang belum berhenti turun. Isakannya lolos saat Farrel melangkah kembali.

"Farrel!" panggil Iva. Kakinya dihentak-hentakkan kesal.

Kali ini Farrel berbalik. Tatapannya gelap, tajam menyimpan amarah. Isakan Iva mulai mengecil. Takut dengan sisi Farrel yang satu ini. Menyeramkan.

"T-tungguin gue!"

Kedua tangan Farrel terangkat. Lurus sejajar bahu.

Iva capek. Ia paham. Kakinya kembali berlari, melompat meraih uluran tangan Farrel. Iva, dengan beraninya, memeluk Farrel lebih dulu. Kakinya menyilang di belakang punggung Farrel, menyembunyikan wajah di balik bahu.

Oh. Sangat nyaman berada di gendongan Farrel.

Senyumnya mengembang begitu lebar saat Farrel balas memeluknya. Memastikan tak dapat membuat Iva jatuh, Farrel berjalan. Memasuki elevator yang hanya diisi mereka berdua.

"Rel, bau darah, nggak sukaaa,"

Farrel berdecak. Rengekan Iva terdengar aneh. Tepatnya, sikap aneh Iva yang ini belum pernah ia lihat. Bukan Iva sekali.

"Nggak ada orang, takuuut,"

Rengekannya terselip isakan yang kembali mengudara. Farrel menghela napas lelah. Mengabaikan dengan berjalan keluar elevator, membuka password apartemen dengan satu tangan. Iva dibawa kedalam. Ke satu di antara dua kamar dan duduk di sisi kasur.

Iva menoleh. Memandang Farrel yang menatap lurus ke depan. Ia turun dari gendongan. Duduk di samping Farrel yang langsung berdiri menjauh. Cowok itu membuka lemari, mengeluarkan piyama biru gelap tanpa motif. Piyama itu diletakkan di samping kiri Iva, berjalan menuju pintu.

"Nggak usah mandi. Ganti baju aja." Pintu tertutup setelah Farrel memberikan titah. Iva berdecak kesal. Berdiri malas, membuka kancing piyamanya kasar. Ia sangat kacau sekarang.

Tak peduli dengan piyama kebesaran yang bahkan celananya harus dilipat berkali-kali, gadis itu keluar menghampiri Farrel yang menampakkan diri di pantry dapur. Masih dengan kaos hitam dan rambut berantakannya.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang