26.

6 1 1
                                    


"Belum tidur?"

Gadis yang mendongakkan kepalanya itu sedikit terlonjak, menoleh lalu bernapas lega. Dia menggeleng.

Alih-alih mengajukan pertanyaan lagi, Farrel memilih bersandar pada besi pembatas balkon. Menatap lorong gelap yang harus dilewati agar bisa mencapai balkon tanpa lampu ini. Jarak yang tercipta cukup dekat, hilang saat Farrel menoleh mempertemukan hidungnya dengan puncak kepala Iva. Ditatapnya wajah yang mendongak memperhatikan gemerlap bintang di langit itu. Redup, berbeda dengan Iva yang cerewet beberapa jam lalu.

Sekarang pukul sembilan, dua jam setelah mereka makan malam lalu hening sibuk di kamar masing-masing.

"Nggak akan habis kalo cuma di simpen sendiri."

Terkejut, namun tak mampu membuat Iva berbicara. Dia beralih menunduk, menatap kakinya yang terlihat mungil saat bersampingan dengan kaki Farrel. Tangan yang dilipat di atas pembatas besi itu mulai memilin asal.

Iva tau rasa takut masih mendominasi tubuhnya. Apalagi malam, mulai mengingatkan kembali bagaimana kejadian itu terjadi. Gadis itu mendekat hingga tangannya harus turun, dilipat didepan dada. Bahu Farrel yang tertutup kaos blue navy lengan pendek itu berada tepat di depannya.

"Bokap nyuruh gue balik ke Seoul. Kemarin malam."

Tanpa sadar, Iva menurunkan satu tangannya, dibiarkan mencengkeram ujung kaos Farrel.

"Kalo iya gue pergi, gue nggak akan bisa pulang ke sini lagi."

Napas Iva tercekat. Ia menggeleng keras, beralih menyusuri tangannya hingga berada di punggung Farrel. Mendekat cepat lalu menyandarkan wajah di bahu cowok itu. "Nggak boleh."

"Orang suruhan bokap sedia di bawah. Siap narik gue kapan aja."

Satu tangan Iva yang tadinya masih di depan dada diturunkan. Gadis itu melangkah kecil ke samping dan memeluk cowok di depannya erat. "Lo nggak boleh pergi."

"Bokap bisa marah besar, Va."

Iva menatap tajam mobil-mobil hitam di bawah. Seakan bisa bertatapan langsung dengan orang yang Farrel maksudkan. "Nggak."

Masih Iva yang manja namun dengan suara dingin dan tak ingin ditolak.

Farrel bernapas gusar. "Iya, gue masih disini, kan?"

Kemudian Iva sadar apa yang baru ia lakukan. Terlalu egois dan memalukan. "Maaf," lirihnya, melepaskan pelukan dan berdiri tegak.

Farrel tatap wajah yang kembali menunduk itu. Tangan kanannya turun, "sekarang giliran lo," meraih pinggang Iva dan kembali memeluknya, "yang harus cerita."

Iva tersenyum tipis. Menggigit bibir bawahnya berusaha tahan. "Ibu kandung gue kakaknya Bunda. Ibu yang rela donorin jantungnya buat gue. Dia pergi. Gue nggak pernah ngganggep dia ada. Gue nggak tau apa gue boleh dan pantes untuk ketemu, tapi gue kangen.

Orang itu petunjuk gue, sekalipun dia yang bikin gue luka dan trauma."

Farrel membisu mendengarnya. Fakta baru yang mengejutkan, besar dan Iva tak bisa menghadapi sendirian. Ada celah yang berusaha menjauhkan Iva dan Bunda Maya. Bunda tersayang yang kini terasa sulit untuk Iva gapai.

"Besok kita bilang sama-sama."

Iva mengedip lelah. Berkata tak percaya. "Termasuk luka gue ini?"

"Iya. Supaya Bunda bisa selesain masalahnya sama keluarganya."

"Tapi gue yang bikin masalah. Bunda nggak perlu tau kalo gue udah tau semuanya."

"Nggak ada yang tau lo sakit, kan? Lo sendiri tau?"

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang