28.

3 1 0
                                    


Rumah yang terlihat begitu menyeramkan, terlihat siap menjatuhkan kapan saja. Kilatan memori itu tak dapat dihentikan, terputar berulang hingga hampir menitikkan air mata. 

Namun Iva tak punya tujuan lain, karena inilah rumah satu-satunya, rumah yang cukup ia rindukan. Hanya satu peristiwa buruk yang terjadi, dari banyaknya momen indah di rumah ini, maka Iva harus bisa menerimanya.

Sekalipun ia takut luar biasa akibat peristiwa malam itu.

Langkah kakinya berat, dipenuhi pemikiran buruk tentang kemungkinan jika ia berani masuk ke dalam sini. Namun, jika Bunda Maya tiba-tiba pulang dan Iva tak ada di rumah, itu sangatlah berbahaya.

Maka Iva memberanikan diri membuka pintu depan. Gelap yang pertama menyambutnya.

Tangannya buru-buru mencari saklar lampu. Menerangi setiap sudut ruangan, memastikan tak ada manusia lain selain dirinya.

Di dalam kamarnya, setelah semua lampu menyala terang, gadis itu beringsut duduk di bibir kasur. Menelusuri kamar yang terasa sedikit asing, mencengkeram ujung selimut karena takut.

Ini terlihat baik-baik saja. Kamarnya rapi, tak seberantakan saat terakhir kali ditinggalkan. Mungkin, cowok itu yang menyuruh beberapa orang membersihkan rumahnya. Cowok yang sempat memegang handphonenya, yang menjawab panggilan Bunda.

Lalu Iva tersenyum. Menggigit bibir bawahnya. Ia mengaku, di dalam hatinya, fakta bahwa Farrel memiliki pacar diasingkan jauh-jauh. Tak mau dipedulikan, seakan tak pernah mendengar. Iva pernah membayangkan ujungnya akan seperti ini, namun tak sampai harus menatap wajah gadis itu. Pacar Farrel.

Sekarang Iva yang tengah tenggelam, semakin dalam. Menjadi yang tersisa, tak ada yang menemani. Merasakan rasa sakitnya sendiri.

Karena air matanya telah jatuh, untuk malam ini saja, Iva akan menyerah. Membiarkan dirinya mengeluh, menyalahkan yang patut disalahkan. Dirinya, orang yang memiliki banyak salah.

Lo cuma butuh nangis, Va. Kali ini, lo boleh runtuh.

"Buat apa? Nggak ada gunanya 'kan, kalo gue nangis?"

Tangis lo hari ini, bisa ngurangin muak atas kehidupan. Kalo hari ini lo nggak runtuh, lo bisa hancur kedepannya, Va. Lebih besar, dan gue tau lo nggak bisa hadapin sendirian.

Kakinya naik, merangkak dan bersembunyi di balik selimut. Mengetatkan rahang kuat-kuat, menjatuhkan emosi yang selama ini berusaha ia tahan. Ia sakit, hingga rasanya bukan apa-apa. Ia sudah biasa.

Masa lalunya hancur. Iva tak tau apa masa depannya juga akan hancur. Hidupnya terasa canggung. Aneh, bahkan untuk menghirup napas.

Isakannya terdengar. Cukup dalam, merasa bebas karena sendirian.

Ada Mama. Mama yang telah menopang hidupnya, menjadi alat bernapasnya. Mungkin Iva tak ingat bagaimana wajahnya, mungkin juga Iva tak mampu jika diberi kesempatan bertemu dengannya. Ia malu. Tak pernah tulus menghargai, tulus menyayangi. Namun kini, ia juga rindu. Teramat rindu, hingga gumaman meminta Mama-nya datang terlepas mengudara.

Iva tak tau mana yang benar. Atau kebenaran yang sesungguhnya adalah ia sebuah kesalahan. Manusia yang seharusnya tak berhak di tolong Mama, manusia yang tak pantas tinggal dengan Bunda.

Bunda, Iva yang buat Mama pergi, Iva yang ngejauhin Bunda sama Kakak Bunda. Iva nggak seharusnya Bunda sayang.

"Mama ... Iva kangen, hiks, Iva pengen ketemu Mama ... "

Hidup Iva rumit. Apalagi setelah ia berusaha membuka diri pada orang lain. Ia pikir itu baik, namun malah membuatnya lebih sakit. Bertemu Jack dan Farrel, bukanlah hal baik bagi Iva. Jack dan Farrel, tak seharusnya bertemu dengan gadis pembawa masalah seperti Iva.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang