Semuanya baik baik saja. Memiliki beberapa teman setidaknya tak menganggu kehidupan Iva, lebih berwarna malah. Walau baru beberapa hari mengenal Farrel dan Jack, Iva bisa memahami perilaku dan sifat mereka. Farrel cenderung lebih pendiam dari Jack walau mereka sama sama cerewet. Farrel diam jika tak ditanggapi, berbeda dengan Jack yang malah akan bertanya lebih banyak. Tapi sama, akan diam jika tak ditanggapi selama sepuluh menit. Setelahnya anak itu mencari topik pembicaraan baru.Tapi ada satu hal yang membuat Iva kesal hampir setiap harinya. Ketika Farrel dan Jack bertemu, mereka selalu bertengkar meributkan hal yang tak bisa Iva pahami. Bisa sekitar lima belas sampai dua puluh menit mereka bertengkar, kemudian menjauh satu sama lain menyadari hilangnya Iva yang selalu melihat pertengkaran mereka. Iva suka sepi. Ia pasti memilih pergi daripada menunggu dua orang yang bertengkar dalam waktu lama.
Mungkin itulah kegiatan Iva dua hari terakhir, menghabiskan waktu di sekolah dengan mereka berdua. Akhir akhir ini Farrel cukup sering ke sekolah, entah mengantar Mba Nadin sesuai perkataannya atau bertengkar dengan Jack seperti biasa. Iva sering merasa seperti menjadi babysister jadinya. Mereka sering kali berperilaku kekanak kanakan, sifat yang seharusnya hilang di usia mereka ini.
Hanya disekolah karena diluar Iva kembali sendiri lagi. Farrel kini jarang pergi ke cafe dan Jack yang sibuk dengan kegiatan tinju meninjunya. Omong omong Jack mengikuti les bela diri, di dalam maupun di luar sekolah.
Untuk Farrel, mungkin sibuk bersama pacarnya. Sampai saat ini sih itu yang Iva yakini. Terakhir kali saat Iva mengetahui Farrel mempunyai pacar, ia berusaha mengurangi kebersamaannya dengan Farrel. Untungnya Farrel sendiri yang mengurangi kebersamaan itu.
Jujur hati Iva sedikit kecewa mengetahuinya. Mungkin cemburu? Entahlah. Lagian fokus utamanya bersama Gavin saat ini. Jadi ia tak perlu memikirkan hal yang tak terlalu penting itu.
Oke. Iva terlalu banyak melamun. Ia mengayuh sepedanya lebih cepat agar tak terlambat kerja. Berhenti sejenak dipinggir jalan, ia membuka lolipop kuning kemudian memakannya. Seiring waktu makanan itu menjadi cemilan sehari harinya.
Tersentak mendengar suara klakson, Iva menolehkan kepalanya ke belakang. Mobil sedan hitam berhenti tepat dibelakangnya. Memang sepedanya menghalangi jalan, ya? Iva bisa melihat jalannya cukup lebar muat untuk dua tiga mobil berjejer horisontal.
Menggedikkan bahu tak peduli, ia kembali mengayuh sepedanya. Sudah dua menit dan Iva terganggu dengan mobil tadi yang kini membuntutinya. Mobil itu seperti mengejarnya menyuruh untuk berhenti. Iva mulai takut. Gadis itu mengayuh sepeda lebih cepat. Sesekali menoleh kebelakang lalu berdecak sebal karena mobil itu masih mengikutinya. Memang Iva punya salah, ya?
Seberapa cepat Iva mengayuh, kecepatan sepeda dan mobil mewah tak ada tandingannya sama sekali. Sekarang mobil itu di sampingnya, menyudutkannya agar berhenti. Iva tak bisa berfikir. Patokannya hanya harus mengayuh lebih cepat agar terbebas dari mobil sedan itu. Iva hampir saja kehilangan keseimbangan saat sebuah motor menerobos diantara kejar kejaran itu. Orang itu menoleh memperhatikannya kemudian berbicara keras. Tak dapat Iva dengar sepenuhnya. Intinya, laki laki itu--iya, seorang laki laki--akan menolongnya.
Iva berusaha percaya. Ia lebih memilih ditolong oleh orang yang tak ia kenal daripada dicegat oleh mobil yang tiba tiba mengejarnya. Tentu, kan?
Saat mobil itu akan berhenti di depan Iva, cowok itu mengisyaratkan agar berbelok arah masuk ke dalam gang sempit. Bisa Iva lihat cowok itu mengikuti dibelakangnya. Ia masih mengayuh sepeda, mengantisipasi jika orang yang tadi mengikutinya dengan mobil nekat berlari mengejarnya.
Iva berhenti ketika merasa aman. Bernapas lelah, gadis itu turun kemudian menghampiri orang yang membantunya. "Makasih, ya."
Lelaki tadi melepas helmnya. Tersenyum manis kemudian mengangguk mengiyakan. "Sama sama. Lain kali hati hati. Begal emang nggak mandang siapa korbannya." Cowok itu menggunakan helm kembali. "Gue harus pergi." Mengangkat tangan, menunggu Iva membalasnya. "Seenggaknya kenalan. Nama gue Ray."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Fiksi Remaja[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...