Iva menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Ia takkan bisa tidur lelap seberusaha apapun ia menutup mata. Terlalu banyak pikiran negatif tentang peneror tadi yang tak sengaja tersambung dengan kotak hitam berisikan pisau tempo hari diotaknya.Kakinya perlahan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Gavin yang tak tertutup sempurna memperlihatkan sesosok pria yang tertidur lelap membelakangi pintu. Iva tersenyum tipis melihatnya.
Gadis itu kembali melangkah. Mulutnya berdecak heran ketika sampai di ruang keluarga. Masih dalam posisi yang sama Farrel tertidur dengan lelapnya. Pria itu seakan tak terganggu dengan tidak adanya bantal dan selimut di suasana malam hari yang dingin ini.
"Emang nggak dingin, Rel? Gue kan bilang tidur di kamar Gavin," ucap Iva sembari duduk di sofa yang lain.
Tentu tak ada jawaban. Farrel masih lelap di tidur malamnya.
Iva menghembuskan napas panjang. Tubuhnya ia sandarkan pada punggung sofa, menutup mata mencari ketenangan. Iva berusaha menghilangkan pikiran negatif di kepalanya. Gadis itu tersenyum senang saat pikirannya mulai tenang.
Kiranya tiga menit telah berlalu. Iva merendahkan posisi kepalanya merasa tidak nyaman. Matanya sedikit terbuka terkejut dengan sebuah tangan yang tiba tiba menggenggam tangannya.
"Kenapa bangun, Rel?" tanyanya.
"Ada cewek yang butuh sandaran," canda Farrel ringan.
Iva tersenyum masam. Kepalanya ia sandarkan pada bahu Farrel lalu menutup mata.
"Masih bingung, ya?"
"Iya, gue masih berharap ini mimpi."
"Kalo duduk disamping cowok ganteng gini, mimpi bukan?"
Diamnya Iva Farrel simpulkan sebagai jawaban.
"Bukan, kan? Berarti apa yang ngebuat lo bing..-"
"Rel," panggil Iva lesu. Yang dipanggil berdehem menanggapi. "Diem bentar, ya? Gue mau otak gue sepi dulu. Bentar aja."
Farrel tersenyum gemas. Mulutnya tak lagi mengeluarkan kata kata diikuti kepalanya yang bersandar pada kepala Iva. Genggaman tangannya ia eratkan.
Iva menghembuskan napas panjang. Entah mengapa posisi saat ini terasa sangat nyaman. Hati dan pikirannya semakin lama semakin damai, hal yang belakangan ini ia inginkan.
Sedangkan Farrel.
Farrel berusaha untuk tetap membuat Iva nyaman. Farrel berusaha untuk tak mengganggu apa yang sedang Iva lakukan. Ia mencoba mengerti keadaan ini, keadaan yang membuatnya menyadari bahwa Iva mungkin pribadi yang lebih lemah dari kelihatannya.
Mungkin memerlukan waktu lima menit, hati dan pikiran Iva berhasil menghilangkan hal negatif itu. Gadis itu menghembuskan napas lega dengan suasana hati yang perlahan membaik.
Namun tiba tiba ia terkejut.
Jantungnya mulai berdetak di atas batas normal. Telinga dan wajahnya tiba tiba terasa memanas hingga mengusir rasa dingin yang tadi menemaninya.
Apa ini?
Rasa rasanya rasa damai itu telah datang, namun mengapa tiba tiba hilang dalam sekejap? Mengapa ia merasa gugup di posisi ini?
Apa karena tangan Farrel yang menggenggamnya?
Apa karena bahu Farrel yang menenangkan hatinya?
"Kita harus cari solusinya."
Perkataan Farrel membuyarkan lamunan Iva.
"Hm?"
"Kita harus cari tau apa yang peneror itu mau."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Fiksi Remaja[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...