"Bun.. da?" Iva meletakkan tas miliknya di kursi meja makan. Tangannya bergerak memeluk sosok bunda yang beberapa hari ini tak ia lihat."Iya sayang, ini bunda." Mayasari atau lebih akrab dipanggil Maya-bunda Iva-mengelus surai hitam Iva penuh sayang.
"Kangen."
Maya terkekeh ringan. Ia melepas pelukan, menangkup wajah Iva, mencium keningnya sekilas. "Cuma tiga hari, kan?"
"Tapi kan lama, Bun,"
Maya tersenyum mengacak rambut Iva gemas. "Sarapan. Bunda udah bikin roti panggang selai kacang kesukaan kamu."
Iva mengangguk semangat, duduk lalu mulai menyantap sarapan paginya. "Bunda nanti lembur lagi?" tanyanya sembari memperhatikan sang bunda yang tengah menyiapkan bekal untuk dibawa ke rumah sakit.
"Nanti malem pulang, sayang. Sekitar jam sebelas."
Menghembuskan napas panjang, Iva memperhatikan punggung sang bunda, sosok yang paling berjasa dalam hidupnya. "Bunda, tolong jangan kecapean ya? Aku nggak mau bunda sakit. Bunda juga harus jaga kesehatan."
"Bunda nggak capek, kok. Ini kan buat kamu. Bunda nggak akan sakit juga. Percaya sama bunda."
Menunduk, Iva merasakan matanya memanas. Sangat jelas tubuh Maya terlihat kurus akhir akhir ini, juga waktu istirahat yang terforsir untuk terus bekerja.
"Bunda juga butuh istirahat. Kan Iva udah kerja juga. Apa gunanya Iva kerja kalo bunda terus lembur kayak gini? Iva nggak mau bunda kenapa napa. Cuman bunda yang Iva punya sekarang ini."
Maya berbalik. Matanya melihat Iva yang menunduk meletakkan makanannya tak selera. Berjalan menghampiri, wanita itu mengelus pundak Iva memberi pengertian. "Kamu nggak boleh kayak gitu, Va. Kamu nggak cuma punya bunda. Ada Gavin yang nanti pasti kumpul sama kita lagi. Jangan ngomong sembarangan, ah. Bunda nggak suka."
"Tapi Bun, Gavin pasti sedih kalo tau bunda kerja terus kayak gini. Gavin pasti sama kayak Iva, nggak mau bundanya sakit."
"Udah ah. Makan sarapan kamu. Nanti telat." Maya mengecup puncak kepala Iva, lagi. "Bunda mau ke kamar. Bentar lagi bunda berangkat. Kamu hati hati di jalan ya,"
Iva memandang tubuh Maya yang berjalan meninggalkannya. Iva tau hati Maya masih sakit--hingga kini dan entah sampai kapan--sama seperti dirinya. Tapi bekerja seharian, bukanlah cara yang tepat untuk menyingkirkan rasa sakit itu.
Vin, lo nggak mau kan kalo bunda sakit?
÷÷÷
Farrel berjalan menuruni tangga memperhatikan Anna yang tengah bersiap pergi entah kemana. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil lalu disampirkan pada bahunya. "Ma, mau kemana?"
"Mama mau ke cafenya Nadin. Mau sarapan bareng sama kakakmu itu. Kasian ditinggal kerja mulu sama suaminya."
Entah bagaimana bisa, mendengar cafe itu membuat sosok Iva muncul di otak Farrel. Ia berjalan--sedikit berlari--menghampiri Anna, melempar asal handuk basah pada kursi ruang tamu. "Ikut."
"Beneran? Tumben mau ikut. Biasanya dilirik aja udah nolak,"
"Farrel juga mau sarapan kali, Ma."
"Di rumah kan banyak makanan. Nggak harus ikut sarapan sama Mama dan Nadin, dong."
Farrel berdecak. "Masa nggak boleh ikut sih, Ma? Emang Farrel nggak boleh ketemu sama kakaknya?" Wajahnya ditekuk--sama sekali tak cocok baginya--membuat Anna terkekeh seketika.
"Ganti baju sana. Kamu nggak akan pergi kesana make celana pendek gitu, kan?"
Tangan Farrel terangkat memberi hormat, berdiri tegak layaknya anak paskibra. "Siap!" Kemudian berbalik, melangkah tegak layaknya paskibra, lagi.
Sementara Anna terkekeh melihat kelakuan anak bungsunya yang masih bertingkah layaknya anak umur 5 tahun.
÷÷÷
"Rel, lagi nyari apa?" tanya Nadin, kesal dengan tingkah Farrel yang sedari tadi duduk tak tenang mencari sesuatu yang tak ia ketahui. "Kalo mau pesen lagi tinggal panggil. Nggak perlu celingak celinguk kayak gitu." lanjutnya lalu memasukkan sesendok smootie ke dalam mulutnya.
Farrel menghentikan proses pencariannya beralih memandang Nadin lalu menggelengkan kepala. Tangannya kembali mengangkat roti tawar selai coklat, menggigitnya tak napsu.
"Adik kamu itu semakin kesini kok perilakunya semakin aneh, Din." Anna meminum sedikit air putih, meletakkan alat makannya selesai dengan sarapannya. "Ke cafe kok sarapannya roti kayak gitu. Kalo roti dirumah mah ada. Tadi seharusnya Mama nggak usah ijinin dia ikut sarapan sama kita."
Nadin terkekeh menyetujui perkataan sang ibu. "Aku juga kadang bingung sama perilakunya, Ma. Jalan pikirnya nggak bisa ditebak,"
"Pada ngomong apa, sih? Farrel kesini itu mau sarapan, bukan dijadiin bahan gosip kayak gini. Terus kenapa bahas pola pikir, coba? Nggak ada hubungannya tau Mba."
"Kamu itu pulang kesini mau liburan, kan? Mana buktinya? Jangan diem terus kayak gini, Rel. Cari kegiatan sana."
"Nggak usah ngurusin aku deh, Mba. Ma..-"
"Bener kata Nadin, Farrel. Jangan sia siain waktu kamu yang cuma sebulan ini."
Farrel berdecak. Dua lawan satu. Farrel menyerah.
"Mama sama Nadin udah selesai sarapannya. Sekarang Mama sama Nadin mau cek restaurantnya Mama. Kamu mau ikut lagi?"
Menggeleng, Farrel membiarkan sang ibu yang pergi dari duduknya. Berjalan keluar diikuti Nadin yang kini terhenti karena dihalangi Farrel.
Walau sedikit ragu laki laki itu bertanya. "Mba tau karyawan cafe yang namanya Iva?"
Nadin terdiam sebentar. "Kenapa emangnya?"
"Nggak papa, sih ..." Farrel menggaruk tengkuknya canggung. Ia mendapati ekspresi kakaknya yang mencurigai sesuatu. "Cu.. cuman nanya aja,"
Nadin memilih untuk menjawab pertanyaan Farrel. "Mba lumayan tau sama karyawan yang kerja disini. Soal gadis yang kamu tanya itu Mba juga tau,"
Wajah Farrel berbinar mendengarnya. "Sekarang Iva kerja nggak Mba?"
"Kepala kamu abis kejedot meja, ya?"
"Hah?" Farrel bereaksi spontan terkejut dengan pertanyaan kakaknya.
"Kamu kira Iva nggak sekolah? Dia masih kelas duabelas, kan? Cewek serajin Iva nggak mungkin bolos demi kerja sekalipun," Nadin menepuk pundak Farrel sejenak. Wanita itu kemudian pergi meninggalkan Farrel yang terdiam mematung.
Ah! Farrel ingat kepalanya menabrak pintu setelah mandi tadi pagi.
Iya Mba, Farrel abis kejedot tadi pagi. Mungkin otaknya geser dikit.
÷÷÷÷÷÷÷
To Be Continued
Stay tune, please :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...