Sesuai kemauan Farrel, pagi pagi sekali Iva sudah membuat beberapa helai roti panggang dan pancake seperti kemarin sore. Sebenarnya ingin mengganti makanan lain, namun pesan dari Farrel menghentikan keinginan Iva. Yang kemaren kurang banyak, katanya. Karena itu pula Iva diberikan rentetan kalimat tanya dari sang Bunda."Kok nggak sepedaan kayak biasa, Va?" Begitu kira kira. Iva tau Maya akan menanyakannya, maka mau tak mau Iva harus mengatakan yang sebenarnya. Iva tak dapat berbohong terhadap bunda kecuali hal yang membuat sang bunda khawatir--seperti malam tadi misalnya.
Tepat saat Iva menjawab bahwa ia akan berlibur ke pantai, lagi, Maya kembali memberinya pertanyaan. Dengan siapa? Kok tiba tiba mau? Biasanya seharian nggak bisa jauh sama kasur, kan? Kesambet ya, Va? Dan masiiih banyak lagi. Iva diam. Tak menanggapi karena tau Maya hanya menggodanya saja. Biarkan bundanya penasaran hingga pada saatnya akan berteriak heboh melihat ada seorang cowok yang datang kerumahnya. Seben.. What?!
Bunda nggak boleh ketemu Farrel.
Iva tak mau wajahnya merona karena bunda yang akan terus menggodanya nanti. Maka kakinya berjalan menghampiri Maya yang tengah menonton acara berita di televisi, mendekatinya perlahan. "Bun, kok nggak ke rumah sakit?"
"Bunda ambil cuti hari ini."
"Kenapa?" Bahkan saat Iva bertambah umur pun, Maya tak pernah cuti--hanya pulang lebih awal untuk merayakannya.
"Kan bunda udah bilang, bunda mau ngasih perhatian ke kamu. Pokoknya hari ini bunda mau kita jalan jalan bareng, nonton bareng, masak bareng, ya.. yang kayak gitu deh,"
Iva semakin tak enak. Maya sudah rela cuti dari pekerjaannya, ia malah akan pergi berlibur dengan orang lain. Ini tak boleh terjadi.
"Tapi Bun..-"
Tok tok tok
Pintu depan berbunyi dan Iva yakin itu adalah Farrel.
"Va, buka pintunya, sana."
"Ben.. bentar Bun, Iva mau ngomong. Sebentar aja."
"Buka pintunya dulu, Va. Kamu ngomongnya bisa nanti. Itu kasian nungguin diluar loh. Siapa tau orang penting, kan?"
Menunduk, Iva menggenggam tangan Maya lembut. "Mian."
"Ini kenapa malah minta maaf, lagi? Udah sana buka pintunya."
Iva terpaksa melangkah menuju pintu depan menyambut kedatangan Farrel yang terasa berat baginya. Yang penting ia sudah meminta maaf kepada bundanya. Semoga saja Maya mengerti apa yang ia rasakan setelah melihat apa yang akan terjadi nanti.
"Masuk, Rel." ucap Iva canggung membawa Farrel ke ruang tamu.
"Langsung ke dapur aja. Lo udah masak, kan?"
Iva merentangkan tangannya mencegah Farrel yang hendak melangkah. "Di.. disini aja. Kit.. kita langsung jalan, ya? Nanti sarapannya gue bungkus. Lo.. ke mob..-"
"Ribet ah! Sarapan disini aja. Gue udah laper, nih." Dengan mudah Farrel menyingkirkan tangan Iva yang menghalanginya. Malam tadi ia tidur lebih awal, paginya bangun lebih awal, juga mandi lebih awal. Sejak pulang dari rumah Iva, Farrel sangat excited hingga sempat sulit tidur, sangat menantikan datangnya hari ini. Diluar ekspetasi Farrel, berteman dengan Iva bisa menimbulkan euforia tersendiri dalam hatinya.
Detak jantung Iva mulai tak beraturan, tak tau mengapa merasa khawatir jika Farrel dan Bunda bertemu. "Jang..-"
"Va, kok lama, sih? Emang siapa yang dateng?" Sosok Maya mulai terlihat, muncul dari ruang keluarga yang tak jauh dari ruang tamu. Saat kakinya menapak sampai disana, matanya langsung memandang Farrel, sosok yang tak pernah ia lihat. "Ini siapa, Va?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
أدب المراهقين[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...