Satu hari ini, terasa entah kapan akan berakhir. Iva merasa terlalu panjang, sampai sedetik pun terasa lama. Iva juga merasa jenuh, kosong tak tau harus melakukan apa.Pertemuannya dengan Farrel berakhir canggung, seperti perkiraannya. Mereka makan beberapa menit, cukup lama, tetapi tak mengatakan apa-apa. Benar-benar seperti itu hingga pukul dua siang Iva sudah sampai di hotel lagi. Farrel yang mengantarnya, tentu saja.
Berhubung mood Iva buruk, juga harinya yang biasa-biasa saja, malam ini Iva akan pergi keluar sendirian. Sendirian, tanpa memberi kabar. Karena tanpa diberi kabar pun orang lain tak akan khawatir. Bunda dan Kak Gia masih sibuk dengan Gavin, tentu saja, sedangkan Ray sepertinya sibuk dengan Papa. Ray bilang, satu atau dua hari ke depan Papa bisa sampai di sini.
Iva memperhatikan pantulan cermin kamar mandi hotel, seorang gadis yang memakai t-shirt hitam dan rok pink lembut pendek. Rambutnya dibiarkan terurai. Tak ada make up sama sekali, Iva bahkan tak sempat mempedulikan hal itu. Pegangannya hanya lip balm agar bibirnya lembap, sedikit menghilangkan warna pucatnya. Iva juga tak memperhatikan tubuh akhir-akhir ini.
Gadis itu membasahi bibir bawahnya yakin. Lagipula, ini untuk dirinya sendiri. Demi suasana hatinya agar mampu lebih baik dan tak kusut lagi. Bilang saja, jalan-jalan bagai liburan layaknya turis pada umumnya.
Iva melangkah keluar, menimbulkan bunyi gesekan antara lantai dan high heels crem-nya. Heels yang tak terlalu tinggi, dibelikan Papa sebelum pergi ke sini.
Langkahnya pelan, sembari melihat sekitar. Ia mengeras kali ini. Ia akan bersikap acuh pada siapa saja malam ini, hanya untuk beberapa jam ke depan.
÷÷÷
Iva yang terlalu banyak melamun. Ia memikirkan hal-hal itu lagi, memikirkan sampai napasnya memburu sesekali. Memikirkannya sampai perjalanan terasa cepat dan tak sadar akan suasana malam yang dilewati sedari tadi.
Iva tak tau berapa jam ia duduk di jok penumpang, tak tau berapa kilometer jarak antara hotel ke tempat ini. Tau-tau Iva sudah turun dan disuguhi pemandangan seindah ini.
Sungai Han, sungai yang terkenal akan keindahan dan pesonanya. Sungai Han yang saat dilihat langsung di malam hari membuat Iva tersenyum seketika. Sungai Han yang bercahaya akibat lampu di sepanjang tepi dan dekorasi indah lainnya.
Iva melangkah, menikmati udara malam yang terasa luar biasa. Menikmati apapun yang bisa di pandang, mendengar agar menjadi familiar. Begini rasanya. Rasa yang tak sepenuhnya mampu ada, yang ternyata mampu membuat Iva menitikkan air mata.
Sungai Han dingin, apalagi di malam hari. Iva seharusnya tau, atau ia sudah tau tetapi memilih tak terlalu peduli apa yang menjadi akibatnya nanti. Yang terjadi saat ini, Iva merasakan wajahnya dingin dan tubuh sesekali menggigil. Walau, Iva malah berangsur mendekat dan duduk di tepi. Agak jauh, namun masih mampu mendengarkan suara aliran airnya.
Rasanya sempurna. Semacam healing atas kacaunya Iva beberapa hari ini. Rasanya sempurna, apalagi jika Iva mampu berlama-lama di sini.
Menjelajah sejauh mana hal yang dapat ia lihat, Iva beralih mendongak. Mendapati langit gelap yang dibubuhi beberapa bintang, namun tak ada bulan bersamanya. Di posisi seperti ini, air mata Iva mengalir lebih terasa, tanpa suara. Gelapnya terlalu pekat, memaksakan sejenak senyum tipis Iva agar luntur.
Seperti menggenggam tangan Iva, bersama dingin dan gelap. Sendirian, lalu Iva mengedip cepat tak mau lagi melanjutkan. Ia menunduk, menyatukan kedua telapak tangannya berusaha saling menghangatkan. Sendirian pun, Iva mungkin tak percaya, namun tak selalu menyedihkan. Sendirian pun Iva bisa tersenyum kembali seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Genç Kurgu[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...