32.

7 1 0
                                    


Iva belum menceritakan tentang Ray yang mengaku adiknya. Karena Iva masih terlalu syok, masih belum bisa percaya. Nanti, setelah Bunda Maya sudah lumayan tenang, ia akan bertanya. Tentang apa-apa saja di keluarganya, silsilah rinci hingga kakek-neneknya. Harus.

Saat ini, yang dapat Iva lakukan hanya menatap halaman penuh bunga rumah Kak Gia. Iva membawa Bunda ke rumah Kak Gia, teman yang Iva maksud ingin ia perkenalkan. Bukan ia yang meminta, karena Kak Gia sendiri yang menarik menunjukkan dimana Iva dan Bunda bisa tidur. Kak Gia butuh teman daripada sendirian di rumah yang cukup besar ini.

Kali ini, Iva menghidupkan ponselnya kembali. Namun, ia langsung mematikan gps ponsel, siapa tau ada orang yang berusaha mencari dimana keberadaannya. Iva telah memutuskan, tiga perempuan yang tengah sakit ini harus mendapat ketenangan dari gangguan luar.

Ponsel telah menyala. Lagi-lagi ia tak bosan melihat pesan-pesan yang mulai masuk. Ia lalu tersenyum kecut. Bodoh.

"Va,"

Tangan yang menyentuh bahunya, membuat Iva mendongak. "Iya, Bun?"

Maya tersenyum sebelum berkata, "Masuk, ya? Udah malem. Nanti masuk angin,"

Iva mengangguk. "Iya. Nanti masuk, kok, Bun. Bunda duluan aja,"

"Beneran?" Muncul seringaian tipis di bibir Bundanya. "Nggak mau liat foto-foto Kak Gia sama Gavin?"

Iva terkekeh. "Iva mah udah liat kemarin. Bunda yang telat,"

"Oh, ya?" Elusan lembut mengenai rambut hitam Iva. "Ya udah, Bunda masuk duluan,"

Iva mengangguk. Ia menatap langit malam sebentar, menghirup napas panjang. Merasa lebih tenang, Iva berdiri dari duduknya dan masuk kedalam rumah.

Dalam jalannya, Iva kembali fokus pada ponsel. Searching sesuatu yang tiba-tiba mengganggu pikiran.

Obat imunosupresan adalah obat yang harus dikonsumsi sepanjang hidup setelah menjalani transplantasi jantung. Obat imunosupresan berfungsi untuk mencegah penolakan terhadap jantung yang ditransplantasikan ke tubuh.

Begitu kesimpulannya. Iva terkejut, hingga tak tau kapan langkahnya berhenti. Napasnya tercekat, hatinya bergetar, matanya melebar tak percaya. Pandangannya mengabur tergantikan oleh air mata yang mengalir tiba-tiba. Rasanya begitu sesak, mengetahui sebesar ini Ray memikirkannya. Perhatian Ray padanya.

Sekarang, Iva yakin bahwa Ray benar-benar adiknya. Adik yang tau bagaimana masa lalunya.

Gadis itu menunduk. Menghembuskan napas tak teratur, mencengkeram botol obat yang sedari tadi berada dalam saku hoodie maroonnya. Lalu, langkahnya yakin menuju dapur. Mengambil segelas air putih, meminum satu kapsul obat sambil terisak pelan.

÷÷÷

Iva uring-uringan. Tak bisa tidur, mondar-mandir nggak jelas, gelisah, khawatir, bahkan sampai tak napsu makan. Bunda dan Kak Gia tentu saja khawatir melihatnya. Bertanya-tanya, apakah Iva masih terbebani dengan apa yang baru terjadi baru-baru ini. Apalagi, mendengar Iva ingin bolos dari sekolahnya.

Maya menyipit, berusaha membaca apa yang mengganggu Iva. "Kenapa? Masih marah sama pihak sekolah?"

Iva menggeleng sembari memainkan sendok dan garpu. "Bukan itu, Bun. Bukan apa-apa,"

Masih menatap anaknya khawatir, Bunda menggeleng. "Anak Bunda kalau kayak gini, pasti ada apa-apa."

Kak Gia yang sedari tadi hanya mendengarkan, ikut menambahi. "Iya, Va, cerita aja. Mungkin Kakak bisa bantu,"

Sempat menunduk risau, Iva beralih menatap Bunda-nya berbinar. "Bun, punya kontaknya Ray?"

Ekspresi Maya menegang sesaat, mendengar nama yang tak begitu asing di telinga. "R-ray?" Ia berusaha mengingat.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang