Bandara. Iva tak sepenuhnya percaya saat kakinya menapak di tempat ini selepas turun dari mobil. Iva hanya merasa, tak tau apakah ini benar.Papa benar-benar mau membantunya. Membantunya dan Bunda, serta Kak Gia untuk pergi menemui Gavin. Iva senang, tentu saja. Namun, dilihat saja, raut wajah gelisah selalu menemani Iva.
Sekarang hari Kamis. Pukul setengah lima sore, bergabung bersama para manusia lain. Ray setia mengenggam tangannya, menempel, tak membiarkan sang kakak menciptakan jarak di antara mereka. Papa yang memperingati Ray agar Iva tak jauh-jauh darinya.
Sejak persiapan tadi siang, Iva cenderung lebih banyak diam. Mendengarkan nasihat Bunda bagai angin lalu, hanya sekedar mengangguk-angguk asal. Pun dengan nasihat Papa yang tak ikut pergi bersama. Menurut perkataan beliau, sih, ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Bunda dan Kak Gia sudah pergi pukul dua siang tadi. Bukan karena sengaja, namun karena Iva yang terlalu lama bersiap di dalam kamar. Iva sendiri yang berteriak boleh ditinggalkan duluan. Tetapi, agar Iva tak sendirian, Ray disuruh pergi bersama kakaknya. Ray tak begitu memikirkan karena terlebih akan seru melihat kakaknya kesal dijahili.
Lalu, setelah mengatur ulang jadwal penerbangan, Iva meninggalkan rumah Papa. Berkendara menuju bandara cukup lama. Meninggalkan rumah Mama Papa yang baru sempat menginap satu malam, meninggalkan rumah Kak Gia, bahkan meninggalkan rumahnya yang tak sempat dikunjungi.
Sekolah dan bekerja sudah Papa urus. Keluar dari sekolah dan mengundurkan diri dari cafe. Nanti, terserah Iva mau melanjutkan di sana atau kembali lagi ke sini.
Sebenarnya, Iva tak terlalu memikirkan hal itu. Iva percayakan semuanya pada Papa, sosok yang tau apa yang terbaik baginya. Hanya saja, Iva merasa ada sesuatu yang menahannya untuk tetap tinggal. Banyak hal yang seharusnya ia selesaikan.
"Lo mau nggak, Kak?"
Iva menoleh, menggeleng pelan pada Ray yang memakan sebungkus besar burger. Duduknya hanya diam, menatap langkah kaki orang sambil melamun.
Ray meletakkan makanannya, berhenti sebentar. "Kenapa?"
"Lagi nggak napsu aja," jawab Iva pelan. Ia menunduk, memilin ujung sweater biru milik Ray.
"Mikirin cowok itu?" Sekalipun Iva tak pernah bercerita, Kak Gia yang bilang semuanya.
"Nggak," jawab Iva cepat.
Ray mengedikkan bahu. "Mikirin juga nggak papa kali," balasnya.
Sedikit terkejut mendengar tanggapan seperti itu yang muncul, Iva diam. Memilih bersandar pada bahu Ray. "Kurang berapa jam lagi, sih? Gue ngantuk."
Ray berdecak menyadari Iva mengalihkan pembicaraan. "Lima belas menit lagi. Tidur dulu aja, nanti gue bangunin. Kalo perlu gue gendong kalo nggak bangun-bangun,"
"Nggak gitu juga kali,"
"Tapi beneran nggak mau makan, nih?" Ray kembali mengambil burger yang baru digigit beberapa kali itu.
Iva tak menggeleng juga tak mengangguk. "Kalo minum, ada nggak?"
"Lah, malah nawar? Katanya ngantuk?"
Iva mencubit lengan Ray pelan. "Tinggal jawab aja kenapa, sih!"
Ray mendengkus, walau tak ayal membalas, "ada."
"Ma..-"
Cup coklat dingin lebih dulu menyentuh pipinya. Ray terkekeh kecil lalu menurunkannya di depan mulut Iva.
"Dasar. Suka banget kasih pipi gue minum dulu," cetus Iva kesal lalu membuka mulutnya, meminum beberapa teguk. Cup itu ia pegang di atas pangkuan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
أدب المراهقين[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...