Tapi besoknya, untuk yang kedua kali Farrel tak ada di tempat yang sama. Ada sepotong roti selai kacang di pantry dapur, membuat Iva menggigit bibir bawahnya. Di tatap kosong apartemen yang begitu sepi ini. Entah mengapa, Iva merasa kecewa.Walau begitu, handphone di sampingnya menarik sudut bibir Iva. Beruntung gadis itu bisa mengusir rasa bosan, dari pada harus duduk tak ada kerjaan seharian.
Tak peduli dengan perutnya yang sudah menyuarakan haknya beberapa kali, Iva memilih mengambil handphone. Membuka aplikasi balas pesan barangkali Farrel memberitahu sesuatu. Misal, 'Gue pulang sebentar. Jangan kemana-mana.' dengan bumbu emoticon love atau semacamnya.
Gadis itu mendesah tak suka. Tak ada notifikasi pesan, satu pun termasuk dari Jack yang kerap iseng mengirimi pesan candaan. Jadi ia lempar handponenya kesal, mengambil potong roti dan menggigit satu suapan. Ada yang aneh saat Iva merasa rindu pada cowok yang memeluknya tadi malam.
Ia taruh rotinya tak selera, berjalan ke sofa menyalakan televisi dengan volume tinggi. Mencari saluran menarik yang mungkin bisa memperbaiki suasana hatinya. Kakinya duduk menyila, memeluk bantal sofa hingga mengetatkan rahang tak sengaja.
Menyebalkan!
Keinginan untuk memeluk-nya ternyata belum hilang juga. Entah apa yang merasuki Iva hingga memiliki keinginan seberani ini. Menggeram, ia berdiri lalu melangkah sambil menghentakkan kaki. Diambil ponsel bergegas mencari kontak lelaki itu.
Dahinya menyerngit. Namun tak ayal tetap mengarahkan ponsel ke telinga.
"Apa?"
"Farrel gimana?"
Iva agaknya tak percaya. Diturunkan ponsel miliknya sebentar, memastikan siapa orang yang meneleponnya. Dari nama kontak dan suaranya sih benar. Tapi kok, agak aneh, ya?
"Maksud lo?"
Disebrang sana, dia berdecak. "Kita ketemu. Gue tunggu di cafe deket sekolah."
"Hah? Bego ya lo? Nggak liat sekarang jam berapa? Atau," Iva menggeleng tak percaya, "lo bolos?"
"Nggak usah banyak tanya. Gue tunggu."
"Kenapa sih? Ada apa?"
"Gue mau ngomong, Iva."
"Penting banget sampe harus sekarang?"
"Iya. Gue tunggu."
"Tap..-"
Panggilan terputus.
"Ck, dasar! Gue belum mandi, Jack!"
÷÷÷
Iva menunduk. Menahan cairan bening yang siap jatuh dari kelopak mata. Ia meringis, menahan sakit yang begitu tajam menyerang hatinya. Jack yang sedari tadi menggenggamnya, menggeram tertahan. Langkah mereka pelan karena Iva kehilangan tenaga. Iva mempercayakan tujuan pulangnya pada Jack, termasuk saat Jack memilih istirahat duduk di halte samping perempatan. Sambil menunggu bus yang akan mengantar mereka berdua.
Agaknya Iva menyerah. Air mata berhasil turun namun sekuat tenaga menahan isakan. Jack merasa bersalah. Ia menyandarkan Iva pada bahunya, menggenggam tangan mungil itu lebih erat.
"Maaf," pintanya.
Iva menggeleng pelan. Satu tangannya yang masih bebas bergerak masuk dalam genggaman, mengelusnya sebentar.
"G-gue nggak papa," napasnya tercekat, "makasih."
Jack tega. Jack terlalu egois. Ia telah menyakiti gadis yang masih dipenuhi lebam hingga sekarang. Jack tak melihat kondisi dan situasi hingga lebih mementingkan emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...