Semuanya diam. Farrel sibuk mengobati luka di tangan Iva, Iva sibuk berperang dengan pikirannya dan Ray yang sibuk menatap sepatu hitamnya. Terasa sangat canggung bahkan bagi Iva yang biasanya selalu menyukai suasana senyap seperti ini."Sakit?" tanya Farrel lirih.
Iva menggeleng. Hatinya lebih sakit karena mengira Gavin pulang dan tinggal bersama lagi. Sedikit perih memang, namun pikirannya yang masih melalangbuana mengalihkan rasa sakit itu.
"Selesai," Farrel meringis melihat perban hasil tangannya. "Maaf nggak rapi, harusnya tadi kerumah sakit aja,"
"Aniya. Ini udah cukup kok,"
Iva memandang Ray yang duduk diseberang mereka. Ia beranjak lalu duduk disampingnya. Tangan kanannya menarik kotak obat agar lebih dekat lalu mulai meneteskan antiseptik pada kapas.
"Nggak usah, Va. Gue nggak papa,"
Iva seolah tuli mulai mengobati luka di wajah Ray.
"Lo nggak papa? Ada luka lain?" Ray kembali bersuara.
Iva menatap Ray sejenak. "Makasih udah nolongin gue. Maafin Farrel juga yang ngehajar lo nggak jelas gini," Iva beralih menatap Farrel berharap Farrel peka bahwa dirinya harus meminta maaf pada Ray.
Yang ditatap menggeleng pelan. Ia berdecak sebal saat Iva berubah melototinya. "Sorry." ucapnya malas. Cowok itu bertambah kesal karena hanya ditanggapi dengan sebuah deheman oleh Ray.
Keadaan kembali sepi. Suara detik jarum jam kembali terdengar dan sebenarnya membuat Iva muak. Ini pertamakalinya Iva membenci keadaan sunyi karena berada di antara dua laki laki yang sepertinya tak dapat berteman baik. Dua duanya diam diam saling memberikan tatapan tak suka entah apa penyebabnya. Oleh karena itu setelah luka Ray selesai diobati dalam waktu delapan menit, Iva kembali berdiri menatap Ray dan Farrel bergantian. "Gue buatin kalian minum dulu," ucapnya lalu beralih menuju dapur.
÷÷÷
Iva menuangkan air panas pada tiga cangkir gelas didepannya. Setelahnya gadis itu mengambil sendok mulai mengaduk teh panas yang ia pikir cocok dengan suasana dingin di malam hari seperti ini. Ia sedikit tidak fokus karena masih memikirkan kejadian tadi.
Siapa sih pria tadi? Apa yang sebenarnya pria itu inginkan? Apa Gavin memiliki musuh di dunia luar? Apakah sifat Gavin didalam dan diluar rumah berbeda? Apa Gavin menyembunyikan sesuatu darinya?
Iva menghembuskan napas panjang. Terlalu banyak kata apa yang tak tau kapan terjawab dan siapa yang akan menjawab. Semuanya terasa semakin gelap dengan banyaknya kejadian aneh yang terjadi belakangan ini.
"Va,"
Apa benar ada orang yang berniat jahat padanya?
"Va,"
Iya, hanya padanya. Iva tak merasa Maya mengalami hal sama sepertinya. Sang Bunda akan selalu terbuka terhadap masalah rumah sakit misalnya, masalah yang bahkan Iva tak paham dari dasarnya sekalipun. Maya akan bercerita semua hal baru yang menimpanya, terbalik dengan Iva yang selalu berusaha menyembunyikannya.
"Va,"
Juga, Iva teringat dengan orang yang mengacak acak dapurnya tempo hari. Apa iya orang itu dan orang tadi saling berhubungan? Apa iya Iva dal..-
"Aish!" Iva hampir memukul Farrel yang tiba tiba saja memegang pundaknya. Gadis itu menghembuskan napas lega. "Gue kira siapa tau nggak! Ngagetin aja,"
Farrel mengedipkan matanya lucu. Itu yang Iva lihat.
"Gue dari tadi udah manggilin lo, lo'nya aja yang nggak denger. Lo lagi mikirin apa sih, sampai ngaduk udara gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...