Seorang wanita dengan perkiraan umur duapuluh lima ke atas berjalan memasuki cafe dengan anggunnya. Kepalanya menoleh mencari keberadaan sang adik yang langsung tertangkap di dekat jendela, meneguk segelas coklat panas di depannya."Udah lama, Rel?"
Perempuan itu duduk dihadapan Farrel memperhatikan wajah sang adik yang belakangan ini tak ia temui.
Farrel menggeleng sebagai jawaban. "Baru lima menit." Matanya kembali melihat setiap sudut cafe lalu mengangguk anggukan kepala, merasa bangga dengan kakaknya. "Cafenya bagus, Mba. Padahal Mba nggak pernah mantau langsung liat kondisi cafe ini. Ke Indonesia aja baru kali ini setelah kita pindah ke Korea, kan?"
Farrel mengunci pandangannya pada mata sang kakak. Ia membenarkan posisi duduknya lalu berbicara kelewat serius. "Mba mau ngomong apa?"
Nadin terkekeh ringan. Ia menyesap teh hangat yang dipesannya tadi, memandang setiap pergerakan Farrel. "Jangan serius banget, Rel. Mba nggak mau ngomong apa apa, kok." Nadin membasahi bibirnya sejenak. "Mba cuma mau ngingetin kamu, jangan buat masalah disini. Kamu disini cuma liburan. Jangan buat Papa kecewa lagi sama kamu."
Farrel menganggukkan kepalanya asal. Ia malas jika pembicaraan ini membawa nama sang ayah. Matanya kembali mengamati bagian cafe ini.
"Kamu sayang Papa, kan? Kalo iya jangan buat masalah lagi. Mba kasihan lihat Papa makin sibuk karena harus ngurusin kamu terus."
"Kalo Farrel nggak sayang Papa, Farrel boleh bikin masalah sebanyak apapun?"
Tangan Farrel seketika terasa nyeri karena Nadin memukulnya pelan. Tentu hanya sekejap karena Farrel anak kuat.
"Kamu kalo dibilangin nggak usah ngelawan bisa nggak?"
"Ini hidup Farrel, Mba. Nggak semua orang berhak ngatur hidup Farrel."
"Mama, Papa sama Mba pasti berhak, kan? Kita keluarga kamu. Kita mau kamu punya masa depan yang cerah."
Farrel berdecak. "Mba, Farrel disini mau liburan. Farrel nggak mau dikekang terus sama Papa Mama. Cara kalian untuk bimbing Farrel itu salah. Farrel udah bilang itu berapa kali coba? Farrel juga udah bosen denger pertanyaan yang sama dari kalian."
Nadin tau emosi Farrel bisa meledak kapan saja, timbul dimana saja apapun situasinya. Wanita itu menyentuh telapak tangan Farrel. "Mba paham apa yang kamu mau. Kamu pengin bebas, nggak mau Papa Mama ngatur kamu terus terusan. Cara kamu supaya kamu bebas itu, kamu harus turutin kemauan Papa. Semakin kamu ngelawan, makin banyak Papa ngelarang kamu ngelakuin ini itu."
"Mba ..." Jika didengar lebih dalam itu terkesan seperti Farrel merengek meminta pembelaan. "Farrel capek ngebahas ini mulu, dari dulu sampai sekarang nggak ada habis habisnya. Farrel mau buang dulu topik ini. Farrel kesini itu untuk liburan. Nggak ada yang lupa, kan?"
Nadin terkekeh. "Bilang aja kamu nggak mau ngalah. Ngalah sama Papa kamu bisa nggak, sih? Kenapa sifat keras kepala Papa nurun banyak ke kamu?"
Farrel rasanya ingin menangis saja. Baru ia ingin berdiri, kakaknya telah bangkit terlebih dahulu.
"Mba pergi aja, males ketemu kamu ujungnya berantem mulu."
Farrel hanya berdehem.
"Oh! Mba hampir lupa. Kata Mama kamu tidur di apartement Mba tadi malem. Kenapa nggak langsung pulang aja? Habis ngelakuin hal aneh, ya?"
"Lupa jalan." Farrel berkata tanpa berekspresi panik sekalipun.
"Rumah sendiri dilupain. Sekarang pulang jangan keluyuran lagi, udah malem." Nadin menghampiri Farrel lalu mengusap surainya sekilas. "Mba pergi sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...