1.

103 40 16
                                    


Seorang gadis berjalan terhuyung huyung di sepinya jalan malam. Tangan kanannya memijat kening yang berdenyut sakit, menguatkan kakinya yang mulai tak bertenaga. Malam ini cafe sedang ramai hingga ia harus bekerja lebih lama. Mungkin karena terlalu lelah, menarik napas pun rasanya terlalu menyakitkan. Sebenarnya Iva tau persis apa penyebab utamanya. Hanya saja ia terlalu malas untuk menggunakannya sebagai alasan. Iva harap, keadaannya tak sekacau saat ia ditolong oleh Ken, teman kerjanya.

Iva benar benar berusaha untuk bertahan hingga sampai tujuan akhirnya, rumah. Biasanya ia pulang pukul sepuluh malam menggunakan bus yang bisa terhitung jari. Namun malam ini jalan adalah satu satunya cara agar ia bisa sampai tujuan. Tak ada kendaraan umum yang bekerja pukul 23.19. Tak banyak orang yang berlalu lalang di tengah malam yang bertambah dingin setiap detiknya, memilih singgah di tempat makan atau langsung pulang ke rumah.

Detak jantungnya mulai melambat dan pandangannya mulai kabur. Mengambil napas panjang, Iva benar benar berharap semoga ia tak ambruk di trotoar jalan seperti ini.

Langkahnya terhenti. Mencengkeram dadanya yang berdenyut sakit, tubuhnya bersandar pada lampu jalan terlalu lemah untuk berdiri sendiri. Memandang sekitar, harapannya hanya pada seseorang yang sedang mengangkat telepon. Terlihat buru-buru. Mungkinkah orang itu bersedia menolongnya?

Tangannya terangkat tertuju pada sosok itu. Lidahnya terasa kelu untuk berteriak meminta pertolongan. Saat benar benar sudah tak kuat, Iva terduduk dengan mata yang masih menatap lelaki itu.

Farrel, laki laki yang tengah mengangkat handphone--memarahi Ricky diseberang telepon--merasa aneh melihat gadis yang duduk tak berdaya di atas trotoar. Bergidik ngeri, Farrel mengabaikan teriakan Ricky yang mencari keberadaannya. Itu orang gila, ya?

Kakinya mulai mendekat melihat kondisi gadis itu. Langkahnya mantap tak mempedulikan kalau kalau gadis itu adalah salah satu anggota perampokan. Bisa saja hanya modus perampokan, kan?

Farrel seharusnya langsung pulang ke rumah--setelah sampai di bandara beberapa jam yang lalu--bukannya menuruti keinginan Ricky yang sampai saat ini belum kunjung datang. Beberapa buah kopernya telah sampai dirumah--tentu tanpa pemilik yang sekarang keluyuran sesuka hati tanpa mempedulikan kekhawatiran keluarga.

Matanya membulat sadar bahwa gadis itu sedang kesakitan. Menangkup wajahnya, Farrel menatapnya khawatir. "Lo kenapa?"

"An.. anterin saya.. pulang." Saat selesai, Iva tak sadarkan diri dan tentu membuat laki laki didepannya panik.

"Heh! Lo apain itu cewek?!"

Mendelik, Farrel mengarahkan pandangannya pada seseorang di seberang jalan. "N.. nggak papa, Pak. D.. dia pacar saya! Lagi kecapekan aja!" sahutnya gugup. Hei! Ini sudah malam dan Farrel tak mau diseret ke kantor polisi karena dikira telah berbuat yang tidak tidak pada seorang gadis di tengah malam begini. Niatnya ingin menolong, loh.

Tangannya menepuk pipi sang gadis berusaha membuatnya tersadar. Saat percobaan ke sepuluh, gadis itu membuka matanya perlahan.

"Sa.. saya cuma.. kecapekan."

Farrel berteriak frustasi saat gadis itu menutup matanya kembali. Sepertinya kali ini, menepuk beratus ratus kali pun gadis itu tak akan terbangun. Aneh, sih. Memangnya orang kecapekan bisa sampai pingsan seperti ini?

"Bro, lo apain itu cewek?" Sebuah suara mengalihkan perhatian Farrel yang tengah mencari solusi. Ia mendengus, lega akan kehadiran Ricky juga kesal karena keleletannya.

"Lo darimana aja, hah? Gue tungguin dari tadi juga."

"Eh curut, nggak ada yang ngajak lo ketemu disini." Ricky memasukkan satu telapak tangannya pada saku celana. Salahkan Farrel karena terlalu membuatnya terburu buru hingga tak sempat mengambil jaket sekalipun. "Untung dari depan cafe gue bisa liat lo disini."

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang