24.

4 1 0
                                    


Baru tigapuluh menit yang lalu Farrel pergi dari hadapannya. Setengah jam pula Iva telah membersihkan tubuh, mengerjakan tugas sekolah hingga bertukar pesan dengan Bunda. Kabar baik tentang program pertukaran pelajar. Bunda sangat senang hingga berjanji merayakan besok pagi.

Iva melihat pergantian menit dari ponselnya. Sudah hampir tengah malam (23.27) dan ia harus beranjak tidur. Ia habiskan secangkir teh hangat yang menemani udara malam di dapur. Berdiri dan berbelok mengingat pintu depan yang lupa belum dikunci.

Setelah memastikan semua lampu padam Iva berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu tanpa curiga mengapa keadaan terang–sebelum beralih ke dapur–berubah gelap seperti sekarang. 

Iva baru satu langkah bergerak saat sebuah telapak tangan membekap mulutnya. Terasa terkena serangan jantung mendadak. Refleks berteriak walau tak terdengar keras. Yang dibelakangnya ini orang, kan? Bukan makhluk tak kasat mata yang bahkan mustahil bisa membekap mulutnya?

Namun Iva sadar akan pintu depan yang lupa dikunci tadi. Paham bagaimana orang ini bisa masuk ke kamarnya.

Ia bernapas panik. Mulai waspada saat tau dalam bahaya.

"Diam!" Iva terjingkat. "Kalo masih mau hidup besok pagi."

Lalu Iva merasa tubuhnya dilempar hingga menabrak dinding kamar. Berdenyut nyeri. Terlebih pelipis yang ia tau telah mengeluarkan setetes darah.

Bunyi langkah kaki yang mendekat terdengar jelas di indra pendengaran. Iva berbalik perlahan. Berupaya mendongak yang disambut cengkeraman kuat pada dagu. Iva yakin ia bisa mengenali siapa orang di depan jika masker hitam tak menutupi mulut. Ia pernah melihat mata hitam itu. Walau hanya cahaya bulan yang menerangi, menembus jendela yang tak tertutup tirai.

"Dimana kotak itu?" tanyanya tajam.

Bulu kuduknya meremang. Sekarang Iva tau siapa orang ini. Sama dengan sosok hitam kekar di kamar Gavin malam lalu. Kali ini pindah ke kamarnya.

Tak kunjung bersuara, dagu Iva dicengkeram semakin kuat. "Dimana, lo sembunyiin kotak itu."

Di antaranya, nada ancaman terdengar dominan. Kelopak mata Iva menutup setelah radar bahaya itu diterima tubuhnya.

"DIMANA?!"

Detik ini Iva tau harus mengatakan satu dua kata agar bentakan keras itu tak membuat telinganya berdengung berulang kali.

"N-nggak..-"

"ANJ*NG!"

Lalu cengkeraman di dagunya terlepas. Iva beralih menunduk menatap telapak tangan yang memerah akibat terkepal cukup lama. Terdengar erangan geram yang cukup keras, luapan kemarahan yang pasti ditujukan untuknya.

"Di-ma-na."

Iva mendongak. Pria itu berdiri beberapa langkah di depan bersama aura tenang yang mengintimidasi itu. Saat Iva masih berusaha meminimalkan rasa takutnya, ia melihat sendiri bagaimana pria itu berbalik menghampirinya cepat. Iva kontan menahan napas.

Plak!

Rasanya panas sembari denyut nyeri menjalar di pipi yang langsung dibasahi air mata.

"BANGS*T!"

"Gue nggak tau! Gavin nggak pernah ngasih tau apapun ke gue."

Hening menjadi jeda. Kata yang terucap bersama air mata yang masih turun itu adalah akhirnya. Disini, Iva tau dua duanya merasa putus asa.

"Tapi.." Iva berdiri. Membuka laci meja belajar dan mengeluarkan kotak berwarna kuning pastel. "Gavin nggak ngebolehin gue buka ini."

Gavin itu suka naruh barang barangnya di kamar Iva. Barang penting yang jangan sampai tertimbun di kamar kotor Gavin.

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang