40.

4 0 0
                                    


Mereka beralih lagi. Iva tak mau bertanya walau sebenarnya penasaran, hanya membuka kaca mobil dan menikmati udara yang menerpa wajah. Sesekali tangannya menyeruput susu stoberi yang didapat dari rumah sakit tadi.

Iva bangun, kira-kira setelah tidur lima belas menit. Farrel yang ikut tertidur menyandar pada kepalanya, juga membuka mata terbangun. Mata Iva menelisik tetapi tak menemukan siapa-siapa. Gavin dan Kak Gia sepertinya sedang jalan-jalan, menikmati sinar matahari pagi yang baik untuk tubuh. Ray menghilang lagi. Namun, setidaknya Ray telah memaafkannya. Ray masih memperhatikannya, hingga merasa khawatir berlebihan.

Di sampingnya, ada satu susu stoberi yang pasti dari adiknya itu. Ray pasti merasa marah tetapi juga malu. Ini tanda permintaan maaf Ray. Salah satu perilaku Ray yang Iva tau akhir-akhir ini.

Ray adalah adik yang manis--Iva telah mengakuinya saat itu--tetapi juga menakutkan. Iva senang atas fakta yang satu itu.

Menyingkir dari pandangannya dari susu stoberi, Iva mendongak. Farrel keluar dari mobil setelah berhenti satu menit yang lalu. Gadis itu mengikuti, lagi.

Iva tak tau ini di bagian mana, tetapi berdasar plang yang ia baca, namanya Baebongsan. Sudah dibaca pun, Iva tak tau apa artinya. Tempat apa ini sebenarnya.

Farrel mendekat, mengenggam tangannya. Mereka berjalan hingga menemukan titik terjauh, pagar pembatas dan pemandangan indah di depannya.

Baebongsan, sepertinya taman. Taman indah yang dilengkapi gedung-gedung menjulang di bawah. Udaranya sejuk, cuacanya cerah. Suasananya tenang, melegakan.

Iva menarik napas panjang. "Nalssi neomu joh-da," ungkapnya.

Ada beberapa orang di sini, tetapi tak terlalu ramai. Piknik bersama keluarga, jalan-jalan ringan, atau hal lain yang tak dapat Iva lihat. Lagipula, ia akan menikmati saja.

"Apa kayak gini, nggak papa?"

Iva menyerngit, menoleh. "Kayak gini gimana?"

Farrel mendapati bibir Iva yang sedikit gemetar, mengedip kaku. Ia melepas jaket abunya dan memakaikan pada punggung Iva. "Chuumyeon, malhae. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

Gadis itu merapikan rambutnya yang tertutup jaket, tersenyum tipis. "Ini nggak terlalu dingin, kok. Nggak papa." Ia kembali membahas apa yang Farrel katakan. "Kayak gini, gimana?" ulangnya.

"Lo yang minta maaf, Va. Sedangkan bukan cuma lo yang salah di sini."

Iva terkekeh ringan. "Ya nggak papa. Gue masih punya salah juga, 'kan? Lagian mereka wajar."

"Geuraeseo, ije da kkeutnasseo?"

Iva menimbang, berfikir. "Ama?" jawabnya ragu.

"Belum. Ray masih marah, Jack bahkan belum tau kabar lo sampe sekarang. Hanna juga, nggak tau."

Benar juga, Hanna. Hanna pacar Farrel yang lagi-lagi Iva abaikan kenyataannya. Benar ini semua belum selesai. Ia belum melihat senyum damai dari mereka yang bersangkutan.

"Jack sama Hanna baikan."

Baikan, karena mereka pasti sempat berdebat karena Iva. Hanna pasti merasa terganggu terlihat bagaimana ia memarahi Iva tadi malam. Kini, karena mungkin sudah berbicara satu sama lain mereka berbaikan. Jack dan Han..-

Eh, apa?

"Pacarnya Hanna Jack, Va. Mereka balikan setelah sempet ngejauh beberapa bulan." Farrel mendengus. "Gue yang jadi penengah karena cuma gue yang bisa satuin mereka lagi."

Iva menyerngit dalam. Di sini tak terlalu berisik, jadi Iva tak mungkin salah dengar. Tetapi, ia meragukan apa yang Farrel katakan. Apa tadi?

"Masa? Kok tiba-tiba Jack, sih?"

EcstasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang