Saat itu, entah Iva harus merasa bersalah atau tidak, pertemuan yang harusnya berakhir haru, ia malah merasa marah. Merasa kesal yang sebenarnya hadir karena ia malu. Malu karena Gavin meledeknya dengan kata-kata datar.Di detik itu, mereka melepas pelukan. Iva beralih menatap malas Gavin, orang yang sudah lama tak terlihat.
"Lagi ngapain lo? Jadi cabe-cabean?"
Sumpah. Kalau ini bukan rumah sakit, Iva akan menghajar muka Gavin keras. Emosinya sedang tak terkontrol jadi tenaganya pasti menguat. Namun, berhubung melihat selang infus yang ikut berdiri di samping Gavin, Iva berusaha tahan. Begini-begini ia sadar, protektif Gavin lebih parah dari sebelumnya. Bahkan sampai berhasil menggores hatinya sekilas.
"Njir, Vin. Kok sakit, ya?"
Iva bisa merasakan hawa di sekitarnya berubah dingin. Mungkin sesuatu seperti 'Iva dan kata-kata kasar' terdengar sangat tak masuk akal. Sesuatu seperti itu terdengar baru bagi siapapun yang mendengarnya di sini. Sebenarnya, Iva juga tak tau mengapa ia mulai senakal ini.
"Va," panggil Gavin datar, menatapnya tajam. Dari matanya saja sudah terlihat, ia menuntut banyak penjelasan.
Atau Iva hanya memutar bola matanya, merasa ia yang harusnya mendengar penjelasan. Well, siapa sangka Iva bisa bertemu Gavin saat Gavin telah membuka mata? Begitu saja, Iva merasa sakit hati. Heran mengapa mereka menyembunyikan fakta bahwa Gavin telah membuka mata. Atau paling tidak, Iva harus percaya bahwa Gavin baru membuka mata. Ia berusaha menghilangkan pikiran buruk tentang saudaranya sendiri.
"Ya?" balas Iva (pura-pura) polos. Karena sebenarnya, Iva tengah menahan air mata merasa lega atas kesadaran Gavin. Walau berhasil membuatnya kecewa, sedikit. Lagi-lagi ia tak tau apa-apa. Datang-datang, Gavin sudah bisa berdiri dibantu Kak Gia yang memapahnya. Tangan Gavin yang lain memegang kantong infus yang tergantung pada tongkat entah apalah itu. Iva tak peduli.
"Cerita di dalem. Masuk." Titah Gavin terdengar begitu tajam hingga berhasil menggores hati Iva kembali. Rasanya, ia juga tengah merasakan tak tau apa-apa. Namun seperti Iva juga yang harus mengawalinya. Seperti, tak taukah Gavin seberapa besar rasa khawatirnya mengetahui Gavin kecelakaan dan tak kunjung sadarkan diri? Atau setidaknya, walau penasaran apa saja yang menimpa Iva hingga bisa berpelukan dengan Farrel tadi, Gavin harusnya bisa paham. Atau Iva yang egois karena hanya ingin dimengerti.
Iya, Iva tau Gavin tak tau apa yang terjadi dengannya tiga bulan terakhir. Dan titah Gavin itu adalah perintah agar Iva mau menceritakan, agar ia tau apa yang terjadi. Tapi tetap saja, Iva merasa dikhianati, lagi.
Andai Iva boleh berharap, Gavin yang menjitaknya lebih baik daripada menguras emosi seperti ini. Rasanya memuakkan dan sesak. Hingga Iva limbung tak kuat menumpu, berakhir jongkok yang membuat mereka terkejut. Iva mengusap wajahnya kasar. Sebagian hatinya ada yang bilang, ini murni bentuk kekhawatiran Gavin. Benarkah seperti itu? Atau bolehkah seperti itu?
Dari bagaimana Gavin memandangnya saja, Iva tau Gavin mengkhawatirkannya. Gavin khawatir dengan menunjukkan cara yang pertama kali Iva lihat, dan Iva kembali kecewa. Apa Gavin tak bisa, jika memeluknya dulu menyalurkan rasa rindu? Tak bisa jika mengesampingkan rasa penasarannya terlebih dahulu? Ck. Lagi dan lagi Iva merasa egois, ingin selalu dimengerti.
Iva tiba-tiba sadar ada isakan yang lolos dari mulutnya, entah dari kapan. Ada sesuatu yang basah yang mengalir di wajahnya. Juga, sesuatu yang membuatnya semakin sesak.
Iva berdiri tegak saat Ray hampir menyentuh bahunya. Ia tak menatap kemana-mana, menunduk dan mencengkeram dadanya. Lalu, semuanya dapat mendengar jelas bagaimana Iva kesusahan menarik napas. Iva yang sesekali terbatuk dan tersedak akibat mengambil oksigen secara buru-buru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ecstasy
Teen Fiction[Completed] ÷ Matteo Farrel Altezza Gue cuma berusaha. Hasil akhir dan kelanjutannya ada di tangan lo. Maaf, karena gue hati lo terluka. ÷ Iva Anindira Meisya Kebencian terhadap orang lain selain Bunda dan Gavin ternyata nggak pernah salah, ya. ÷ J...