18+
Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya.
Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...
Aku meremas telapak tanganku yang saling bertautan karena gugup. Keringat dingin juga mulai mengalir di dahi. Rasa-rasanya saat ini aku seperti sedang bermimpi buruk.
Bagaimana rasanya ketika seseorang melamarmu untuk menjadi istrinya?
Bahagia?
Mungkin kata itu hanya untuk mereka yang saling mencintai. Sang perempuan akan salting guling-guling ketika dilamar oleh lelaki pujaan hatinya. Tetapi ini berbeda. Aku dan lelaki itu bahkan baru dua kali bertatap muka. Lalu sekarang tahu-tahu dia melamarku untuk menjadi istrinya?
Pertama, saat aku melamar bekerja di kafe miliknya ini. Kedua, ya sekarang. Saat lima belas menit yang lalu salah satu karyawan menyampaikan pemanggilan bos terhadapku. Yap! Lelaki itu adalah pemilik kafe ini. Aku dilamar seorang bos!
"Deal, ya. Kita menikah?" Laki-laki berperawakan tinggi dan juga besar itu langsung bilang deal, tanpa menunggu jawabanku. Apa-apaan?! Dia kira, menikah itu sama seperti beli permen?
Oke. Memang tawaran yang dia berikan cukup menggiurkan. Aku memang sedang membutuhkan uang, dan lelaki itu memilikinya. Banyak.
Di sini, aku sebagai orang yang tengah kesulitan keuangan, diminta untuk menikah dengan lelaki tampan dan juga mapan. Siapa yang tidak mau?
Akan tetapi, bukan itu masalahnya. Dari gosip yang beredar, dia itu lelaki yang 'belok'. Em ... maksudku, tidak menjalani kodratnya sebagaimana mestinya. Lalu sekarang kenapa dia ingin menikah denganku? Apa jangan-jangan aku hanya dijadikan kedok atas kebelokannya itu?
"Tita. Kamu dengar saya, kan?" Astaga! Lelaki itu membuatku berjingkat karena kaget.
"Ta-tapi, Pak. Kenapa mendadak? Dan ... kenapa harus saya? Saya, kan, hanya pelayan di sini. Sedangkan Bapak, bos-nya." Aku tidak habis pikir, mengapa dia memilihku yang hanya seorang remaja berusia dua puluh tahun. Miskin pula. Atau mungkin satu hal yang dia lihat dariku. Cantik?
"Karena saya tahu, kamu butuh uang, dan saya butuh kamu, untuk mengubah status dari single menjadi pria beristri. Tidak masalah apa pekerjaanmu. Yang terpenting adalah, kamu perempuan. Masih lajang."
Oh, oke. Jadi bukan karena aku terlihat cantik dan menarik, karenanya Pak Roland mau menikah denganku.
Namun benar seperti dugaan awal. Dia hanya akan menjadikanku sebagai topeng untuk menutupi aibnya.
Ingin rasanya kubertanya, tentang rumor yang beredar itu apakah benar atau tidak. Walau banyak uang, tapi kalau dia tidak normal, gimana?
Namun yang terjadi, mulutku malah hanya terbuka dan menutup berulang-ulang. Tidak berani bertanya.
"Ada yang perlu kamu tanyakan lagi? Kalau tidak, kamu boleh keluar."
"Eh?"
Tenggorokanku tiba-tiba terasa seperti tercekik. Sulit untuk berucap. Tatapan mata tajamnya itu benar-benar membuatku keder.
"Baik, Pak. Saya permisi. Em ... saya akan memikirkan tawaran dari Bapak tadi."
Tidak ada lagi jawaban darinya selain anggukan kepala. Dengan matanya yang tetap fokus mengamati berkas-berkas di atas meja. Aku pun segera undur diri, lalu bersiap untuk pulang. Karena memang saat ini jam kerja sudah selesai.
Langkahku kubuat panjang-panjang. Sebelum tengah malam aku harus segera sampai di kost-an.
Ketika melewati jalan sempit yang memang hanya satu-satunya akses yang harus kulewati, terlihat siluet beberapa orang berbadan besar di ujung gang. Seperti orang yang tengah berkelahi.
Langkahku terhenti, tidak mau mengambil risiko dengan melewati mereka. Sudah cukup lelah tubuh ini untuk menghadapi para pria liar setiap malamnya. Kali ini, aku harus menghindar.
Namun, entah mengapa hati dan pikiranku tidak sejalan. Dorongan kuat untuk melihat apa yang terjadi timbul begitu saja.
Setelah menimbang-nimbang sebentar, aku kembali melangkah perlahan. Hingga terlihat bayangan itu semakin nyata. Di depan sana, lima orang lelaki berperawakan besar tengah mengeroyok seorang lelaki. Lelaki yang kutaksir berusia dua puluh lima tahunan. Tubuhnya terkapar di jalan, dia ditendang dan dipukul secara membabi buta. Aku bingung. Meski rasa ingin menolong lebih besar dibanding pergi meninggalkan.
Aku kembali berjalan mundur, bukan untuk kabur. Setelah berjarak beberapa meter, kuputar sound sirene mobil polisi di handphone dengan volume tinggi. Biasanya, cara ini akan berhasil untuk menjauhkan para preman yang sering berkumpul di tempat-tempat sepi ketika aku pulang dari bekerja.
Setelah beberapa menit aku kembali mendekat, memastikan hasil yang kudapat. Berhasil! Lelaki itu kini tinggal sendirian, dan tubuhnya masih terkapar.
Perlahan, kudekati dia dengan perasaan yang tidak menentu. Aku tahu, dia babak belur. Terlihat dari tubuhnya yang tidak mampu bangun, bahkan hanya untuk duduk dia pun merasa kesulitan.
"Em ... bo-boleh kubantu?" Ragu-ragu aku bertanya, lalu anggukan lemahnya membuatku memberanikan diri semakin mendekat.
Aku berhasil membantunya duduk di atas tanah yang basah sisa gerimis sore tadi. Dapat kulihat, wajahnya penuh lebam. Terlihat noda darah di kemeja biru yang ia kenakan. Bahkan, sudut bibirnya juga robek. Mengenaskan.
"Terima kasih," ucapnya pelan, nyaris tak terdengar. Aku pun mengangguk, sembari mengamati wajahnya. Sepertinya dia tampan. Kurasa, jika tidak sedang dalam keadaan hancur seperti ini.
"Kamu siapa, dan kenapa bisa terlibat perkelahian seperti tadi?" tanyaku. Lelaki itu terkekeh.
"Aku Akbar," jawabnya, sembari mengulurkan tangan. Aku pun menjabatnya. "Panjang ceritanya, kenapa aku sampai berkelahi. Yang jelas, karena urusan keluarga," lanjutnya, lalu melepas jabatan tanganku.
"Ooh."
"Kamu dari mana?"
"Baru pulang kerja." Aku meringis. Turut merasakan ngilu melihat luka di seluruh wajahnya.
"Kerja di mana?"
"Kafe."
Akbar mengangguk-angguk, tampak sedang berpikir, walau sesekali disertai cengiran seperti menahan rasa sakit.
Aku tidak banyak bertanya lagi, karena dia terlihat begitu kesakitan. Maka yang kulakukan adalah, memapahnya untuk menuju jalan besar. Mencari taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit.
"Sekali lagi terima kasih, ya. Sebagai tanda terima kasih, akan kukenalkan dengan kakak lelakiku. Mungkin, dia akan menyukaimu. Kamu masih single, kan? Kalau kalian menikah, kamu tidak perlu lagi lelah bekerja," ucapnya, saat kami sudah berada di dalam taxi.
Hah. Apa tadi katanya?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.