Keyakinan baru.

1K 103 4
                                        

Semilir angin menerbangkan sebagian helai rambutku. Hawa dingin tidak cukup meredakan rasa panas di setiap aliran darah. Aku merasa ... entahlah. Ada perasaan takut, marah, kecewa dan juga sakit di dalam sana. Berbaur menjadi satu, menciptakan kemelut yang cukup mengganggu.

Belum reda dari tangis, tadi Akbar langsung membawaku ke balkon kamar. Berusaha menenangkan layaknya seorang kakak. Sesaat setelah tangisku mereda, juga rasa sesak dan gemetar yang perlahan sirna, dia pamit untuk turun ke lantai bawah. Tanpa bertanya pun aku tahu, dia pasti ingin berbicara dengan Mas Roland. Kuharap, tidak akan terjadi perkelahian di antara mereka.

Kuteguk tetes terakhir minuman bersoda lalu memasukkan kaleng kosong itu ke tong sampah. Baru kali ini rasa laparku memudar karena suatu kejadian. Meskipun tetap ada ruang kosong di dalam perut yang menuntut untuk diisi.

Hanya saja, nafsu makanku sudah hilang, dan lebih memilih masuk ke dalam kamar, ingin mengistirahatkan badan. Tapi ketika baru saja selangkah melewati pintu balkon, Akbar kembali datang. Pintu kamar memang belum kututup ketika dia keluar tadi.

Kali ini, di kedua tangannya ada cangkir minuman panas yang masih mengepulkan asap.

"Coklat panas?" Dia mengangkat sebelah cangkir ke arahku, menawarkan.

Aku mengangkat bahu, lalu menggerakkan kepala, mengode untuknya kembali ke balkon.

Kami duduk bersisisan di kursi yang berbeda. Sebelumnya, Akbar menyerahkan coklat panas untukku terlebih dulu. Meski baru saja menghabiskan dua kaleng soda, aku tetap meminumnya. Pasti perut akan semakin penuh, dan mungkin beban di kepala juga semakin berkurang nantinya.

"Aku sudah bicara padanya." Dia membuka suara tanpa kuminta. Seakan rasa takut pada Mas Roland sudah tersugesti, hanya membahas tentangnya saja aku sudah merasa terancam.

"Lalu?" Kueratkan genggaman di cangkir. Menikmati rasa hangat di telapak tangan. Sekaligus mengenyahkan rasa takut dan terancam.

"Aku melupakan satu hal, dan kurasa seharusnya sudah sejak awal kuceritakan padamu, Tita." Aku menoleh, menatap Akbar yang mulai menyeruput coklatnya.

"Tentang?" Kali ini aku merasa amat sangat penasaran tentang hal apa yang belum dia ceritakan padaku. Melebihi keingintahuan akan apa yang dia dan Mas Roland tadi perbincangkan.

"Sebenarnya, Kak Roland ...." Akbar menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan, seakan tengah menyusun kalimat yang pas untuk bercerita. "Setelah keterpurukan atas dikhianati kekasihnya dulu, dia sempat merasa putus asa. Maksudku, dia hampir depresi. Kak Roland bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Bisa dibilang, kekasih yang dulu mengkhianatinya itu merupakan cinta pertamanya.

"Aneh, bukan? Lelaki setua kakakku jarang berpacaran? Tapi memang begitulah dia. Terlalu gila kerja, sampai mengenyampingkan urusan percintaan. Begitu memiliki kekasih dan sangat dicintainya, dia dikhianati. Disaat bersamaan, mama juga mengkhianati papa."

Dahiku mengernyit. "Apa hal itu berkaitan dengan sifatnya yang temperamental?" Sejujurnya, beberapa hari sebelum pernikahanku dengan Mas Roland, Akbar sempat membuka rahasia tentang kakaknya yang sakit. Tapi dia tidak mengatakan apa pun perihal emosinya yang berlebihan.

Akbar mengangguk. "Sejak saat itu, Kakak semakin gila kerja. Dia menumpahkan kecewa dan kekesalannya pada pekerjaan. Awalnya, kupikir hal itu akan membuatnya membaik. Aku dan Papa juga sama-sama merasa kecewa atas kepergian Mama dengan selingkuhannya, tanpa memedulikan Kakak yang jauh lebih kecewa daripada kami. Dia dikhianati oleh dua wanita sekaligus.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang