Kebenaran

977 84 11
                                    

Dua puluh menit menunggu, Audrina datang. Pakaiannya masih sama seperti yang ia pakai pagi tadi saat menjemput Mas Roland. Dia berjalan anggun bak peragawati. Dari awal, aku memang sudah sadar diri seberapa jauh perbedaan kami.

"Hay. Maaf lama. Jalanan sedikit macet tadi." Audrina tersenyum ramah. Ia duduk di seberang meja, lalu meletakkan clutch bag di atas meja yang menghalangi kami berdua.

"Emh. Tidak apa-apa." Aku menarik tangan yang mulai terasa dingin ke atas pangkuan.

"Saya bingung mau memulai percakapan dari mana." Audrina melambaikan tangan ke arah waiters. "Padahal, sebenarnya sudah agak lama saya ingin mengobrol sama kamu, Tita." Ucapan Audrina terhenti ketika waiters datang. Dia memesan minuman dan makan siang. Ketika ia bertanya padaku, aku tidak memesan apa-apa karena perutku masih terasa kenyang.
Lalu, beberapa saat setelahnya kami sama-sama terdiam, mencoba menyelami tatapan satu sama lain.

"Aku siap mendengarkan." Akhirnya, kucairkan kebekuan beberapa saat itu, serta mencoba menekan rasa gugup dan was-was sebisa mungkin.

Audrina menghela napas, lalu sedikit mencondongkan tubuh ke depan. "Harusnya, sekarang saya ke Papua." Dia menjeda. Seperti menunggu reaksiku.

"Aku tahu."

"Bersama Roland."

"Aku juga tahu."

Audrina mengerutkan dahi. "Kamu tahu?"

"Iya. Aku tahu. Kalian berdua akan ke sana. Apakah ... kalian balikan lagi?"

"Hah?" Audrina tertawa kecil. Dia menutup mulut dengan punggung tangannya. Anggun sekali.

"Saya dan Roland? Balikan?"
Audrina berhenti tertawa ketika waiters datang dengan pesanan.

Sesaat obrolan kami terjeda. Lalu ketika pesanan sudah terhidang di atas meja, Audrina mulai menyantap salad sayur pesanannya dengan perlahan.

"Seperti yang dikatakan Roland, kamu sudah salah paham. Dan demi meluruskan kesalahpahaman kamu, saya batal ke Papua." Dia berkata di sela mengunyah. Meski sedang makan, masih dapat berbicara dengan jelas, karena cara makannya sedikit demi sedikit. Tidak sepertiku yang gemar makan dalam suapan besar-besar.

"Salah paham? Soal kalian yang pergi ke Papua untuk urusan pekerjaan? Itu aku sudah tahu, kok. Anda menggantikan suami Anda, kan?" Mulutku cukup gatal untuk menanyakan bagaimana hubungannya dengan sang suami. Namun aku sadar, itu terlalu bersifat pribadi.

Audrina mengangguk, lalu berkata, "Yap. Dan bukan hanya itu." Dia meletakkan sendok garpu ke piring, lalu mengelap bibirnya dengan tisu. Setelah meminum jus buah, dia bersedekap dan menyandarkan punggungnya di kursi.

"Banyak hal yang sudah membuatmu salah paham. Soal hubungan saya dengan Roland, terutama."

"Maksudnya?"

"Kami tidak kembali bersama untuk menjadi pasangan kekasih jika itu yang kamu maksud dengan apakah kami kembali bersama." Aku diam. Kali ini tidak ingin memotong ucapannya seperti yang kulakukan pada Mas Roland semalam.

"Kamu tahu, tidak. Saya dan Roland punya masa lalu yang cukup rumit."

"Aku tahu."

"Sejauh mana?"

"Ehm ... setahuku ... dulu, Anda berselingkuh dari Mas Roland. Karena itu, sampai bertahun-tahun dia tidak mau berhubungan lagi dengan perempuan."

Audrina mengangguk, lalu kembali meminum jusnya. "Saya tahu, semua orang berpikiran seperti itu. Saya berselingkuh dari dia. Dan itulah penyebab Roland tidak lagi memercayai wanita. Bahkan membenci mereka."
Audrina menghela napas, sembari memainkan sedotan di dalam minumannya. Tidak ada jawaban dariku, selain kernyitan di dahi. Masih tidak mengerti dengan perkataannya.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang