Duduk di jok belakang motor besar yang dikendarai oleh seorang lelaki gagah adalah hal yang menyenangkan bagi kebanyakan perempuan. Begitu pun denganku.
Fathan membawaku berkeliling naik motor sportnya.
Ketika datang menjemput tadi, dia sempat bertanya mengapa mataku sembab, yang kujawab dengan aku baik-baik saja.
Namun, sepertinya Fathan tidak sebodoh itu untuk bisa dikelabuhi. Ingatan ini masih begitu jelas bagaimana dulu caranya mengorek informasi ketika aku sedang bersedih hati. Dia akan membuatku melupakan masalah sejenak dan kembali bertanya ketika merasa aku sudah lebih baik dari sebelumnya.
Pegangan tangan pada jaket denimnya kupererat. Sembari menghirup udara segar ketika kami melewati jalanan yang diapit pepohonan rindang.
Mencoba menghalau ingatan tentang Mas Roland. Soal pengakuan hubungannya dan Leo yang sudah berakhir. Serta pertemuannya dengan Audrina nanti.
Terlalu sulit untuk tidak berpikiran negatif, ada perlu apa mantan pasangan kekasih itu bertemu. Harusnya, tadi aku ikut saja dengan Mas Roland untuk tahu kebenarannya. Akan tetapi, kemungkinan mereka berdua akan kembali bersama dan aku tidak memiliki hak sama sekali untuk melarang. Itu membuatku takut dan juga kalut secara bersamaan.
Ditambah lagi jika mengingat tatapannya padaku tadi yang sulit untuk kupahami, ketika dia mengizinkanku untuk pergi bersama Fathan. Semacam kecewa, marah, tidak rela, atau ... entah.
Selama menikah, aku dan Mas Roland selalu keluar rumah tanpa meminta izin satu sama lain. Namun, sejauh sepengetahuan Fathan, kami berdua merupakan sepasang suami istri yang normal. Jadi, dialah orang yang meminta izin untuk membawaku bersamanya.
"Sudah sampai." Fathan menoleh ke belakang untuk menatapku. Tanpa kusadari, saat ini kami sudah berada di pinggir jalan sebuah perbukitan.
Kubuka helm lalu meletakkannya di jok motor.
Dari kejauhan, di sisi kiri jalan. Tampak danau berukuran kecil yang dikelilingi bukit melingkar. Langit cukup cerah, tapi awan yang berarak membuat terik matahari tidak terlalu menyengat.
"Tunggu di sana sebentar." Fathan menunjuk ke arah pohon pinus di depan kami. Sekitar sepuluh meter dari jalan raya.
Aku pun turun dari motor, lalu bertanya, "Kamu mau ke mana?"
"Beli camilan." Fathan menunjuk ke sebuah warung kecil, di dekat tikungan. Dari sini, kulihat beberapa orang juga tengah berdiri di depan warung sembari membeli sesuatu.
Menuruti Fathan, aku menuruni bukit menuju pohon yang dia tunjuk tadi. Sepertinya tempat ini sudah pernah didatangi. Terlihat dari rerumputan yang tersibak dan membentuk jalan setapak. berujung pada pohon pinus yang batangnya sudah lumayan besar.
Aroma rerumputan seketika menyambut indera penciuman, kurentangkan kedua tangan dan menghirup dengan rakus udara yang amat sejuk dan menenangkan.
Fathan pandai memilih tempat. Setidaknya, di sini aku dapat merasakan damai sejenak. Melupakan kejadian pagi tadi yang memorak-porandakan perasaanku.
"Nih, makan. Sedih, juga butuh tenaga." Fathan meletakkan sekantung plastik makanan ringan di telapak tanganku yang masih mengambang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...