Langkah kakiku memelan ketika hampir mencapai pagar rumah. Dengan napas yang masih tersengal usai lari pagi keliling kompleks, kulihat mobil Mas Roland terpakir di garasi. Ini baru lima hari sejak kepergiannya ke luar kota. Kenapa sekarang sudah pulang? Harusnya lusa, bukan sekarang.
"Mas?" Mas Roland yang sedang duduk di kursi teras sembari bermain ponsel mendongak.
"Kamu dari mana saja?! Saya sampai lumutan menunggu di sini!"
"Hah? Nungguin aku? Ngapain?" Aku mengerutkan dahi. Untuk apa dia menungguku? Ditambah lagi dengan setelan jas yang biasa dipakai untuk bekerja masih menempel di tubuhnya. Meski kemejanya sudah kusut, dan tanpa dasi, tapi masih terlihat kewibawaannya sebagai seorang bos. Ya, walaupun kesan cuek dan dingin itu juga masih kental terlihat.
"Saya tidak bisa masuk. Sewaktu pergi lupa tidak bawa kunci rumah. Saya sampai capek nelpon kamu tapi tidak diangkat juga." Mas Roland menggerutu seperti tukang kredit panci nagih hutang. Salah siapa juga tidak bawa kunci? Malah nyalahin aku yang tidak angkat telepon. Gimana mau angkat, ponselku ketinggalan di rumah, tadi.
"Malah ngelamun. Cepat kamu buka pintu. Saya lelah."
Tanpa menunggu lagi, aku menggeser pot di sisi pintu. Meraih kunci yang kuletakkan di bawahnya.
"Tita!" Aku berjengkit kaget saat mau memasukkan kunci ke dalam lubangnya.
"Eh. Apa?"
"Kamu meletakkan kunci rumah di sana?"
"I ... iya. Biar nggak jatuh di jalan. Lebih simpel, kan?" Aku menyengir, memamerkan ide cemerlang yang sudah umum digunakan orang-orang. Tapi bagi Mas Roland, mungkin itu bukan ide bagus, karena dia terlihat menahan keheranan serta amarah.
"Yang benar saja?! Itu sama saja dengan kamu menyediakan kunci untuk maling! Bagaimana mungkin kunci rumahku yang mewah kamu sepelekan seperti ini, huh?!" Bukannya tadi dia bilang sedang merasa lelah, ya? Tapi kenapa masih ada saja tenaganya untuk mengomel?
"Mas Roland. Katanya tadi Mas lelah? Capek? Daripada ngomel gitu mending masuk aja, gih. Aku buatin sarapan, ya." Kucoba untuk lebih bersabar dan tidak menanggapi omelannya. Kalau saja aku menuruti egoku, pasti akan kujawab, siapa pemilik rumah ini? Tentu saja aku.
"Iya. Tapi hal ini jangan kamu biasakan. Rumah ini isinya banyak benda berharga. Bagaimana kalau ...." Aku tidak lagi mendengar ocehannya. Lebih memilih masuk ke dalam rumah usai melepas sepatu dan meletakkan di rak belakang pintu.
"Tita. Saya belum selesai—"
"Mas belum sarapan, kan? Mau sarapan pakai apa? Aku mau bikin roti panggang sama telur ceplok. Mau?"
"Hah! Terserah!" Mas Roland melemparkan jasnya ke sofa ruang tengah. Mungkin merasa semakin lelah jika mendebatku. Lalu dia masuk ke dalam kamar. Tanpa memedulikannya yang sedang marah, aku bergegas memanggang roti untuk sarapan kami berdua.
***
"Mas. Sarapan dulu!" Aku berseru di balik pintu kamarnya. Lelah mengetuk pintu sampai teriakanku harus kuperkeras.
Gini banget hubungan kami. Sekadar masuk ke kamar pasangan pun mesti ketuk pintu segala. Mau bagaimana lagi? Pernikahan kami sejak awal memang jauh dari kata normal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...