empat

1.2K 87 7
                                    

Lepas dari macan, masuk ke kandang singa. Mungkin itu yang kurasakan sekarang. Setelah membantuku melunasi hutang, Pak Roland makin menjadi. Hanya ketika di depan Papa aja dia baik, tapi ketika hanya bersamaku dia akan berubah menjadi lelaki dingin, ketus, dan menyebalkan.

Ini sudah hari ke-empat aku tinggal di rumah ini, persiapan pernikahan kami nyaris selesai. Atas permintaan pak Roland pernikahan kami tidak digelar secara mewah. Hanya keluarga dekat saja yang diundang. Aku sih, tidak masalah. Mau tidak mau, terima tak terima, aku ini sudah punya dia. Sudah dibeli, atau dikontrak. Hina banget kesannya.

Sebenarnya, ada sedikit penyesalan atas persetujuanku untuk menikah dengan dia. Bisa dipastikan, pernikahan kami ini tidak akan sehat. Ya iyalah. Aku menikah dengan lelaki tidak normal. Hanya demi rupiah, aku setuju untuk mempermainkan sebuah ikatan suci. Semoga Tuhan mengampuniku.

"Tita." Panggilan Akbar menyadarkan lamunanku. Saat ini, aku sedang berada di sisi kolam ikan. Memasukkan kedua telapak kaki yang telanjang.

Halaman belakang rumah ini sangat luas. Rumah tiga lantai dengan halaman depan belakang yang terawat. Ada banyak bunga dan juga tanaman rindang yang membuat suasana menjadi asri. Aku betah di sini.

"Akbar. Kamu udah bisa jalan?" tanyaku. Dua hari ini, aku tidak mengantar makanan untuk Akbar lagi. Sejak teguran pak Roland waktu itu, aku memutuskan untuk tidak terlalu perhatian sama Akbar. Bisa-bisa, caci maki untukku semakin bertambah dari lelaki angkuh itu.

"Hemm. Seperti yang kamu lihat." Akbar berdiri tegap. Kedua tangannya dimasukkan ke saku hodie warna oranye yang dia pakai. Sore ini memang cuaca cukup dingin.

Akbar terlihat tampan, dengan luka di wajah yang kian memudar. Sebenarnya, pak Roland juga tidak kalah tampan. Hanya saja, sifat angkuh dan mahal senyuman membuatnya terlihat seperti patung.

"Syukurlah."

"Kak Roland belum pulang?" tanyanya. Ah, aku baru ingat. Pagi tadi ketika di meja makan, Papa dan pak Roland sempat berdebat, kalau tidak salah dengar, mereka menyebut-nyebut nama Leo. Ketika aku datang, mereka langsung terdiam.

Mungkin sekarang waktunya aku bertanya, atas pertanyaan yang sudah beberapa hari ini kutahan.

"Belum," jawabku. Akbar duduk di sisiku. Kakinya turut dimasukkan ke dalam kolam. "Ngomong-ngomong ... ada yang mau aku tanyain ke kamu," lanjutku lagi.

Akbar mengangkat alisnya, seperti bertanya, apa?

"Aku masih bingung. Sebenarnya, bagaimana sih, pak Roland itu. Emm ... di kafe, gosipnya Pak Roland ...." Ucapanku menggantung. Tidak enak rasanya mau bertanya secara terang-terangan.

"Nggak normal?" Akbar melanjutkan pertanyaanku, kedua tangannya terangkat lalu membentuk tanda kutip dengan jari tengah dan telunjuk bersamaan. Aku menelan ludah, takut Akbar bakalan tersinggung dengan pertanyaanku tentang kakaknya.

Rasa takutku tidak terbukti. Akbar tidak marah, raut wajahnya justru terlihat serius dan juga murung. Dia menunduk, memperhatikan ikan mas warna warni di bawah sana.

"Sebenarnya ... aku mau ceritain satu hal yang memang harus kamu ketahui, Tita." Akbar menantapku sebentar, lalu berganti menatap ke depan. Menghela napas panjang, seperti bersiap untuk menceritakan hal besar dan penting untuk kuketahui.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang