Tita mencium punggung tangan Roseline penuh takzim. Mereka berdua baru selesai melaksanakan salat Zuhur berjamaah. Selama bersama Roseline, Tita mulai belajar kembali untuk menata kehidupannya sebagai seorang Muslim. Kini wanita yang baru mengalami trauma tersebut semakin tenang dan nyaman dengan kehidupan damainya."Kamu sudah lapar?" Roseline bertanya di sela kegiatannya melipat mukenah.
"Belum terlalu sih, Tan." Tita yang juga sedang melakukan hal serupa menjawab.
"Mau dimasakin apa?" Roseline meletakkan mukenah yang sudah terlipat rapi di atas nakas.
"Apa ajalah. Yang penting bisa dimakan." Tita menumpuk mukenahnya yang sudah dilipat ke atas mukenah Roseline.
"Jangan cemberut gitu, dong. Tante mau masakin apa aja sesuai dengan request kamu, lhoo."
Tita yang mulanya cemberut, kini tersenyum tipis dan terlihat sangat tidak ikhlas. Bukannya tanpa alasan Tita bersikap seperti itu. Pasalnya, sejak keadaannya mulai membaik, Tita sangat merindukan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga.
Namun, dengan tegas Roseline melarang. Apalagi segala pekerjaan yang melibatkan benda tajam dan berat.Roseline juga mempunyai alasan tersendiri mengapa dirinya melarang. Terakhir kali di rumah sakit, Tita pernah mencoba melukai diri dengan pisau buah yang baru digunakan untuk mengupas apel. Untung saja saat itu perawat dengan sigap merebut kembali pisaunya.
Tak ayal, sejak saat itu Roseline terlampau parno apabila Tita menyentuh benda-benda yang sekiranya dapat digunakan untuk melukai dirinya sendiri.
"Iya, Tan. Aku ngerti, kok." Meski dengan jawaban tidak ikhlas dari Tita, Roseline tetap pergi keluar dan tidak mengubah keputusannya sama sekali untuk melarang keponakannya yang amat gemar memasak untuk kembali menyentuh peralatan dapur.
Sepeninggal Roseline, Tita mendekat ke jendela kaca yang berada di sisi tempat tidur yang selama sebulan terakhir ia tempati bersama Roseline. Di klinik bagian belakang yang dijadikan rumah tinggal Fathan, merupakan bangunan dua lantai. Di sana terdapat tiga kamar yang salah satunya ditempatinya saat ini.
Tita menatap ke luar. Di kejauhan tampak lalu lalang kendaraan yang cukup ramai. Di jam makan siang, pasti banyak pekerja yang mulai kembali ke rutinitas masing-masing. Helaan napas keluar dari bibir wanita yang akhir-akhir ini sering bergelut dengan pikirannya yang selalu saja tidak sinkron dengan hatinya.
Kadang, ingatannya kembali ke masa kelam itu. Di mana, saat Roland menciptakan luka dan juga trauma padanya. Namun di saat bersamaan, terselip rasa asing yang mati-matian ia coba untuk pungkiri.
Harusnya, saat ini Tita marah dan juga membenci lelaki itu. Harusnya, Tita memilih untuk menerima ajakan Roseline ke Jerman. Akan tetapi, sebagian besar keinginan Tita adalah untuk tetap tinggal di sini. Setidaknya, masih di Indonesia.
Tita terus menerus menanamkan dalam benak tentang sebuah keyakinan sebab apa dirinya masih ingin tetap tinggal. Yakni, karena di sinilah tempat tinggalnya. Tempatnya lahir dan juga tumbuh besar.
Selain itu, di sinilah tempat kedua orang tuanya dimakamkan. Tita terus meyakini hal itulah yang memberatkannya untuk pergi. Meski pada kenyataannya, setiap kali dia meyakini semua hal tersebut, bayang wajah seseorang terus menyelinap. Seseorang yang ia takutkan kehadirannya sekaligus ia rindukan. Orang itu seakan tidak rela jika keberadaannya tidak diikutsertakan menjadi salah satu dari alasannya untuk memilih tetap tinggal. Orang itu adalah ... Roland.
"Bu, Dokter Fathan sepertinya berkelahi." Suara ketukan pintu serta ucapan Widia membuyarkan lamunan Tita. Tanpa sadar, setitik air mata mengalir di pipinya yang kini mulai terlihat chubby.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...