Sepertinya mengendap-endap seperti maling kini sudah menjadi kebiasaanku. Dengan alasan yang tak lain dan tak bukan, adalah untuk menghindari Mas Roland. Bedanya, kali ini bukan karena takut seperti dulu, melainkan canggung dan juga malu. Bagaimana mungkin aku terbawa perasaan dengan lelaki itu?
Ini gila!
Sekarang sudah jam sembilan. Kurasa, Mas Roland sudah berangkat ke kantor. Kami memang tidak saling berpamitan ketika keluar rumah. Untuk apa juga? Toh, perjanjiannya memang begitu, urus saja urusan masing-masing, asalkan tidak melanggar aturan yang sudah kami sepakati bersama di surat kontrak.
Suara DJ di dalam perutku semakin menjadi-jadi. Para cacing itu kurasa sudah hampir mati kelaparan.
Keberuntungan tengah berpihak padaku, karena setibanya di dapur, ada dua piring berjajar rapi di meja makan. Satu piring berisi nasi goreng sosis, serta di piring satunya ada omelet.
Di sisi piring ada sebuah kertas kecil berisi catatan yang ditindih gelas.
Makan yang banyak.
Maaf untuk yang tadi, semalam,
juga kemarin.
Aku tersenyum, merasa seperti baru saja menemukan sebuah keajaiban. Seorang Roland mau meminta maaf? Ini berita besar. Atau jangan-jangan semalam dia sudah diruqiah sama Akbar?
Mengabaikan apa yang terjadi pada Mas Roland, aku lebih tertarik untuk menikmati sarapan. Ternyata lelaki kaku itu selain nyuci sendiri, dia bisa masak juga.
Usai dengan sarapan serta cuci piring, aku menanam bunga di taman kecil depan rumah. Saat membeli televisi kemarin, aku juga memesan bibit bunga, sekaligus kompos dan potnya. Kuharap hal ini bisa mengusir sepiku untuk beberapa hari ke depan. Setidaknya, tanaman itu bisa kujadikan sebagai teman.
....
Kehidupanku sekarang benar-benar berubah. Aku layaknya Tuan Putri yang tinggal di sangkar emas.
Benar yang dikatakan Akbar, suamiku itu memang gila kerja. Dua hari ini dia selalu pulang di tengah malam, lalu pergi pagi sebelum aku bangun.
Kurasa, jika hari Minggu seperti saat ini dia akan libur kerja. Karena kulihat mobilnya masih terparkir di garasi.
Jika saja kami sepasang suami istri normal, aku pasti akan membangunkan dia untuk sarapan, lalu berlibur atau belanja bulanan. Tapi, kan, kami berbeda dari pasangan pada umumnya. Awal pagi ini aku justru lebih memilih menyiram bunga di halaman belakang.
"Selamat pagi, Tita ...." Selang air yang kugunakan untuk menyiram bunga mencuat. Aku terkejut, dengan suara bisikan tepat di belakang kepala. Dia Akbar, yang datang tanpa kuundang.
Akbar berusaha menghindar, karena tubuhnya tersiram air dari selang yang saat ini justru semakin kuarahkan padanya. Siapa suruh mengagetkan aku?
"Stop! Tita. Woy, stop!!" Akbar berteriak, aku tertawa melihatnya kelabakan seperti itu. Lalu ketika tangannya berhasil meraih selang, bukannya membalasku, dia justru mematikan keran air. Dia berkacak pinggang, lalu menyugar rambutnya yang basah.
Aku tertawa sinis. "Siapa suruh ngagetin!"
Masih dengan mengacak-acak rambutnya, Akbar mendongak, menatapku sinis, seperti merencanakan sesuatu. Beberapa saat kemudian dia mendekati selang air, menyemprotku sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku yang sudah basah kuyup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Storie d'amore18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...