Roseline buru-buru meletakkan ponsel Tita ke atas nakas ketika keponakannya itu baru keluar dari kamar mandi. Kegiatan Tita menggosok rambut menggunakan handuk membuat apa yang Roseline lakukan barusan tidak terlihat.Roseline membuat gerakan seolah-olah baru selesai mempersiapkan selimut di tempat tidur mereka. Hari memang sudah malam. Sejak kejadian yang membuatnya trauma, Tita menjadi lebih sering mandi. Dalam satu hari, kadang bisa tiga atau sampai empat kali. Roseline tidak melarang. Walau kata dokter, kebiasaan mandi malam bukanlah hal yang baik. Roseline akan menasihati pelan-pelan.
"Tita, Sayang ...." Roseline mendekati Tita yang sudah duduk di meja rias. Bersiap memakai krim malam. Rambut setengah basahnya lebih dulu ia keringkan menggunakan hair dryer.
Tita menoleh, tanpa menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut. "Iya, Tan?"
Roseline mendekat dan duduk di meja rias. "Tante mau ngomong serius."
Tita mematikan hair dryer lalu menatap lurus-lurus pada tantenya. Mendengar kata serius, otomatis membuatnya menyimak baik-baik.
Roseline berdiri lalu mengambil sisir. Rambut yang belum sepenuhnya kering itu mulai ia sisir dengan sepenuh hati. Kegiatan itu tak lepas dari pengamatan Tita yang menatapnya dari cermin.
"Sayang ... ini sudah satu bulan sejak tante tinggal di sini. Om kamu udah minta tante untuk pulang ke Jerman."
Jeda sebentar. Roseline berusaha menyusun kalimat sebaik mungkin agar Tita tidak merasa sedih dan tersinggung.
"Tante pernah bilang, kan. Kalau tante nggak bisa lama-lama di sini. Tante masih punya kewajiban untuk mengurusi om kamu. Tita jadi aja ngikut tante ke Jerman, ya. Nanti kalau sudah lebih baik, tante antar ke sini lagi. Atau kalau betah di sana, tinggal selamanya aja di--"
"Tan ...," Tita memotong ucapan Roseline yang sudah sangat jelas ke mana arahnya, "aku nggak akan ke mana-mana." Tita menyentuh punggung tangan Roseline yang kini sudah berada di pundaknya.
"Aku masih ingin tinggal di sini. Nggak apa-apa kalau Tante mau pulang ke Jerman. Lagian, kasihan Om kalau terlalu lama ditinggal." Tita tersenyum tulus. Sejujurnya, sudah sejak beberapa hari yang lalu keputusan itu ia buat. Untuk tetap tinggal di negerinya sendiri. Tita memaklumi, jika Roseline memang sudah saatnya kembali pulang. Memenuhi tugasnya sebagai seorang istri.
Roseline membelai rambut Tita dengan sebelah tangan yang lain. "Kamu yakin?"
Tita mengangguk. "Yakin, Tan."
Roseline balas tersenyum. Meski berat, ia harus tetap kembali pulang. Ada kewajiban yang sudah cukup lama ia tinggalkan.
***
Roland tersenyum lebar, jauh lebih lebar dari biasanya. Membuat Akbar yang tengah makan malam mengernyitkan dahi tidak mengerti.
Senyum itu tetap bertahan hingga Roland duduk di meja makan. Tepat di hadapan Akbar. Sedangkan Wirya yang berada di bagian ujung tak kalah heran dengan tingkah anak sulungnya itu.
"Kakak sakit?" Akbar meletakkan sendok dan menatap Roland dengan serius.
"Aku? Sakit apa?" Roland justru balik bertanya sembari mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk yang sudah terhidang di atas meja.
Wirya dan Akbar saling tatap. Seolah sama-sama mengerti, keduanya pun tersenyum. Dugaan mereka, Roland baru saja mendapat kabar baik soal Tita. Karena selama sebulan terakhir, Tita merupakan penyebab Roland murung. Bisa dipastikan, Tita jugalah yang mampu membuatnya kembali tersenyum.
Wirya dan Akbar kembali menikmati hidangan makan malam mereka. Ketiga lelaki berbeda usia itu sama-sama merasakan bahagia dengan porsi dan tipe yang berbeda-beda. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Akbar hanya diam saat makan. Sibuk memikirkan perasaannya sendiri dan kebahagiaan kakak semata wayangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romansa18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...