Abizar Elfathan

1K 103 21
                                        

Yang mau doble up, mana coba absennya? ┌(・。・)┘♪

***

Abizar Elfathan.

Dia adalah kakak sepupuku, anak Tante Roseline--kakak dari almarhumah Mama.
Usia kami selisih enam tahun. Fathan melanjutkan pendidikannya untuk menjadi dokter di Amerika ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Lelaki blasteran Indonesia--Palestina itu sangat menyayangiku. Dia dulu bahkan sering menginap di rumah Papa, hanya agar kami lebih sering bersama.

Katanya, aku gadis lemah dan butuh perlindungan. Tidak memiliki saudara kandung, dan sering ditinggal kerja oleh kedua orang tuanya.

Berbeda dengan Shofia—satu-satunya kakak kandung Fathan yang lebih dulu kuliah di luar negeri—dia merupakan wanita tomboy dan pemberani. Sedangkan aku justru tumbuh menjadi gadis manja dan sering bergantung pada orang lain.

Lalu semua berubah drastis setelah aku hanya tinggal sebatang kara. Keadaan membuatku harus tangguh dan mandiri. The power of kepepet. Meski tidak mudah, secara perlahan aku pun bisa mengandalkan diri sendiri.

Selama kuliahnya, Fathan dan aku masih saling berkomunikasi selama tiga tahun. Hingga saat Papa mulai bangkrut, ponselku turut terjual bersama harta benda lainnya. Bahkan sampai tidak memegang ponsel untuk beberapa bulan berikutnya.

Ketika kami pindah ke rumah kontrakan yang jauh lebih sederhana, telepon rumah pun tidak tersedia. Uang yang tersisa sedikit, kami gunakan untuk makan serta pengobatan Papa yang mulai sering jatuh sakit, hingga akhirnya ia menyerah dan meninggalkanku. Menyusul Mama di surga.

Lambat laun, saat aku sudah bekerja dan mampu membeli ponsel second, nomor Fathan sudah tidak aktif lagi.

Saat itu, aku tidak berfokus untuk mencari keberadaan Fathan atau Tante Roseline. Karena kejaran setoran bank sudah cukup membuatku sibuk dan pusing kepala.

"Kalian bikin malu!" Aku terus mengomel sembari mengobati luka di sudut bibir Fathan. Ada luka robek di sana dan juga pelipis kiri.

Alisnya yang tebal semakin terlihat tebal karena pembengkakan. Hidungnya yang mancung juga memerah di bagian pangkal.

Sedangkan Mas Roland, hanya mengalami lebam di sebelah pipi. Dia kini tengah sibuk mengompresnya dengan es batu yang kubungkus dengan kain.

"Dia yang mulai, Tita." Fathan yang berada di sisi kananku menunjuk-nunjuk Mas Roland yang berada di sebelah kiriku. Sedangkan yang ditunjuk hanya membuang muka tak acuh.

Saat ini kami sudah berada di rumah. Tadi sewaktu mereka berkelahi, kerumunan orang seketika memisahkan mereka berdua. Aku juga sudah menjelaskan siapa Mas Roland ke Fathan, begitu pun sebaliknya.

Mungkin harusnya bisa dibilang wajar, kalau Mas Roland marah jika istrinya dicium oleh lelaki asing yang tiba-tiba nyosor tanpa permisi. Tetapi, kan, aku sama Mas Roland bukan pasangan suami istri seperti pada umumnya. Jadi, alasan dia menonjok Fathan itu ... apa?

Setelah perdamaian tadi, Fathan ikut satu mobil dengan kami untuk pulang ke rumah, sedangkan motornya dititipkan di warteg yang ternyata sudah menjadi tempat langganan dia. Fathan masih sama seperti dulu. Dengan kesederhanaan dan makanan favoritnya yang berupa makanan khas kampung.

"Kamu kurang ajar." Mas Roland berucap lirih, tapi masih bisa kami dengar.

Baru saja Fathan ingin membantah, tapi Mas Roland langsung bangkit dan meninggalkan kami berdua di ruang tengah.
Masih dengan sebelah tangannya yang mengompres pipi, Mas Roland masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu keras-keras. Aku dan Fathan bahkan sampai terkejut.

Marrying Mr. GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang