Kemarin, Fathan bilang akan menjemput pukul sepuluh pagi. Sebelum dia datang, kupastikan rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi terlebih dahulu.
Karena kemungkinannya, kami akan jalan-jalan seharian. Akan sangat melelahkan jika sepulangnya masih harus bersih-bersih lagi.Setelah selesai dengan dapur, aku beralih membersihkan ruang tengah dan ruang tamu. Tidak kudapati Mas Roland di mana pun. Karena ini weekend, kurasa dia sedang berada di ruang gym. Seperti biasanya.
Fokusku pada kolong sofa teralih ketika mendengar pintu ruang gym terbuka. Mas Roland keluar dari sana dengan shirtless dan otomatis membuat mataku sulit untuk tidak menatapnya lebih lama.
"Kamu tidak olahraga?" tanyanya. Walau suaranya teredam oleh vacuum cleaner, aku masih mengerti dari gerakan bibirnya.
Kami memang sudah beberapa kali ngegym bareng saat weekend."Enggak."
Aku berusaha kembali fokus membersihkan debu dan Mas Roland beralih ke dapur. Kebiasaan dia kalau sehabis olahraga akan meminum segelas jus.
"Setelah selesai, kamu bersiap. Kita akan pergi ke luar." Mas Roland datang kembali dan mendudukkan diri di sofa yang sudah kubersihkan. Dengan segelas jus di tangannya.
Vacuum cleaner kumatikan, untuk memperjelas apa yang dia katakan.
"Gimana?"
Aku masih berdiri sembari memukul ringan punggung yang terasa pegal dengan kepalan telapak tangan. Dia menatapku lalu menjawab, "Setelah semua pekerjaanmu selesai, saya mau mengajakmu pergi ke luar. Mau bertemu seseorang."
"Eh. Aku udah ada janji sama Fathan, Mas. Hari ini dia juga mau ajakin aku ke luar." Aku beralih duduk di sofa sebelah Mas Roland. Meletakkan vacuum cleaner di sisi meja.
"Ke mana?!" Mas Roland bertanya cepat. Bahkan sedikit membentak.
"Mau ke klinik dia. Sama ke suatu tempat lain juga, katanya. Nggak tahu, sih. Fathan nggak bilang itu di mana. Tapi aku udah iyain. Nggak boleh dibatalin, dong. Lagian, kami udah lama nggak bertemu. Aku kangen banget sama dia." Senyumku mengembang sempurna. Membayangkan hal menyenangkan yang akan kami lewati berdua hari ini.
Sejauh yang kukenal, Fathan selalu gagal membuatku bersedih jika kami sedang bersama. Hanya ada tawa dan bahagia. Di sisinya, aku selalu merasa senang, aman, dan terlindungi.
"Heh!" Mas Roland menendang lututku dengan ujung kakinya. Walau tidak keras, yang namanya pakai kaki tetap saja namanya menendang, 'kan?
"Apa, sih?!" Kuusap bekas ujung kakinya. Walau tidak meninggalkan debu atau kotoran, tapi tetap saja aku marah. Ini adalah bibit dari kekerasan dalam rumah tangga. Kalau dibiarkan, nanti bisa jadi kebiasaan. Ya, meskipun aku sudah pernah menerima kekerasan yang lebih parah dari ini, sih.
Bukannya berhenti, Mas Roland malah menendang tulang keringku. Sembari melontarkan hal-hal buruk soal Fathan. Yang katanya, lelaki jebolan kampus luar negeri itu pasti gaya hidupnya terlalu bebas. Bisa-bisa nanti aku diapa-apain kalau jalan berdua saja sama dia.
Walau tendangan kaki Mas Roland tidak terasa sakit, tapi itu sudah cukup memicu kejengkelanku. Apalagi sampai bawa-bawa Fathan segala.
Sontak aku mendelik, lalu melemparnya dengan bantal sofa berulang kali. Mungkin dia kesurupan jin tuyul. Karena selama kami menikah, dia tidak pernah sekali pun seiseng ini.
"Memangnya kenapa kalau Fathan pernah kuliah di luar negeri, hah? Seenggaknya, dia itu masih normal!" Aku terus mengomel dengan kedua tangan yang masih aktif memukul.
Awalnya Mas Roland hanya diam dan melindungi diri dengan kedua tangan. Lalu lama kelamaan, dia membalasku dengan perlakuan yang sama.
Entah berapa lama kami membuat sofa berantakan, dengan saling berebut dan melempar bantal. Di akhir peperangan, aku dan Mas Roland sama-sama berhenti karena tidak ada lagi bantal terdekat yang dapat digunakan untuk menyerang. Dengan napas yang sama-sama ngos-ngosan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. G
Romance18+ Tita butuh uang, dan Roland menawarkan sebuah pernikahan dengan uang sebagai imbalannya. Sejak awal Tita tahu kalau Roland seorang gay, tapi menurutnya tak apa. Toh yang dia butuhkan hanya uangnya saja. Pernikahan mereka hanya atas dasar simbios...